38 : Berdamai Dengan Keadaan

60 19 68
                                    

Selamat hari Jumat semuanya!
.
Maaf tadi malam tidak bisa update ya ...
.
Fyi, untuk part-part di awal sedang By revisi kembali, silakan barang kali mau membacanya lagi dari awal, hehe ...
.
By usahakan, besok-besok up tepat waktu deh..
.

Happy and Enjoy♡
——————————

“Aku mau masuk ke dalam,” kata Kiara, menatap pintu utama yang terkunci. Ia tahu kunci itu pasti di tangan Ayah atau Ibunya.

Namun, sebuah ingatan tiba-tiba muncul. Jendela kamar kosong yang dijadikan gudang bagian belakang yang rusak dan tak bisa ditutup dengan sempurna. Ia masuk lewat jendela tersebut.

Kiara mengamati jalan setapak kecil di samping rumahnya, yang mengarah langsung ke jendela tersebut.

“Lo mau masuk lewat jendela itu?” tanya Raka, pemuda itu juga mengetahui tentang jendela yang rusak itu.

Kiara mengangguk sebagai jawaban. “Kamu bisa tunggu di luar saja, aku mau sendirian. Nggak papa?”

“Nggak papa, lagian takut ada yang salah paham nanti. Kalau gitu, gue tunggu di depan sini. Berani kan?”

“Berani.”

Niat meledek Kiara, tetapi keadaan tidak mendukungnya. Raka hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil menggaruk rambutnya.

Kiara berjalan ke arah jendela tersebut, Raka mengamati dari tempatnya berdiri sekarang. Dengan perlahan tapi pasti, Kiara sudah masuk ke dalam rumahnya melalui jendela tersebut.

Kiara mengatur napasnya saat sudah di dalam kamar gudang ini. Tak ada yang perlu ditakutkan. Ini adalah rumahnya sendiri.

Saat ia melangkah ke luar kamar, suasana familiar menyambutnya. Tidak ada entitas lain yang terlihat, kecuali Raka yang duduk tenang di kursi depan, menunggu di luar.

Namun, sebuah perasaan mendalam menyelimuti Kiara. Ia merasakan kehadiran energi kakaknya di sini, meski sosoknya tak dapat dilihat.

Campuran rindu, kebahagiaan, dan kesedihan menyatu dalam hatinya. Dengan langkah pelan, ia mulai menjelajahi setiap sudut rumah, mencari jejak kenangan yang terukir.

“Aku pulang, tapi kemana kalian semua? Mana kehangatan yang dulu pernah ada?”

Kiara tak bisa lagi menahan air matanya. Kerinduan akan rumah ini mengalir deras, menyelimuti hatinya dengan rasa kehilangan yang mendalam.

Segala sesuatu di dalam rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya—pajangan foto-foto keluarga, hiasan dinding, hingga bunga-bunga palsu yang terletak di sudut-sudut ruangan. Semuanya tetap di tempatnya, tak berubah, seolah menunggu kepulangannya.

Namun, yang kini berbeda hanyalah lapisan debu tipis yang menyelimuti, tanda bahwa rumah ini sudah sebulan lebih ditinggalkan dan tak lagi dibersihkan. Debu itu seolah mencerminkan perasaan Kiara, sebuah kenangan yang perlahan tertutupi oleh waktu, tetapi tak pernah benar-benar hilang.

Meski begitu, rumah dua tingkat dengan desain minimalis ini masih kokoh dan layak dihuni, meski telah lama ditinggalkan.

Beruntung, setiap kamar tak terkunci. Kiara mulai menjelajahi satu per satu ruang yang pernah dipenuhi kehidupan—kamar orang tuanya, kamar miliknya, dan yang terakhir, kamar sang kakak di lantai dua, tepat di sebelah kamarnya.

Ketika ia memasuki kamar yang bernuansa abu-abu itu, sejenak ia terdiam. Kamar itu masih tampak rapi, meskipun debu telah mulai menyelimuti setiap sudutnya.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang