02 : Flashback

554 258 179
                                    

Halo, selamat malam semua!
Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya!
.
.
Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, dan share ke teman kalian!
.
.
Dan jangan lupa kasih kritik dan saran ya!
.
Happy and enjoy🍒
-----------------------------------------------

Sampai di kediaman keluarga Aryo Handaru, mereka melihat dua mobil terparkir di depan rumah. Kedua mobil tersebut milik keluarga Baskala Gumilar, suami Safila, teman masa kecil Neva, yang telah banyak membantu dalam acara tujuh harian almarhum Eza, anak sulung mereka.

Karena pekerjaan hari ini yang tak dapat ditinggalkan, mereka harus meminta bantuan keluarga sahabatnya itu untuk mengurus acara tahlilan tujuh harian. Selama tujuh hari ini, keluarga Baskala banyak berkontribusi. Namun, Neva tak dapat menampik rasa lelah dan sedih yang melanda hatinya.

Setibanya di depan rumah, air mata Neva tak dapat dicegah mengalir deras. Seorang wanita berpakaian gamis putih keluar dari dalam rumah, diikuti beberapa anggota keluarganya. Wanita itu segera memapah Neva yang menangis sesegukan saat turun dari mobil.

“Sudah, Nev, jangan bersedih. Ini sudah hari ke tujuh. Ikhlaskan Eza, Neva,” ucap wanita tersebut, air matanya juga mengalir tanpa sadar.

“Sa... Berat, Sa. Aku nggak bisa lupain anak pertamaku,” jawab Neva sambil terus terisak.

“Ikhlas bukan berarti lupa, Neva. Kita juga kehilangan Eza. Kita semua yang kenal dia juga merasakan kehilangan ini...”

Safila, teman masa kecil Neva, selalu ada untuknya. Ia adalah wanita yang sudah Neva anggap sebagai keluarga. Sebagai anak tunggal, Neva merasa memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga Safila.

Kedekatan mereka berdua juga tersorot oleh media, berkat kesuksesan perusahaan yang dipimpin oleh para suami mereka, Aryo Handaru dan Baskala Gumilar. Saat ini, Aryo tampak berdiri di teras, berbincang dengan Baskala. Namun, di balik wajah tenangnya, Aryo merasakan beban yang berat di dalam dirinya.

“Sudah, Neva. Aku memang nggak mengerti rasanya seperti apa di posisimu, tapi jangan larut dalam kesedihan. Eza sudah bahagia di surga. Jika kamu terus berduka, dia akan berat melangkah menuju surga nantinya. Percayalah, anak pertamamu itu orang yang sangat baik akhlaknya.” Safila berusaha menenangkan Neva, berusaha membangkitkan semangat sahabatnya.

“Aku takut, Sa... Aku takut Kiara pergi juga,” ungkap Neva, pikiran mengganjal itu membuat tangisnya semakin deras.

“Shh! Jangan memikirkan hal itu! Kita harus tetap yakin bahwa takdir Tuhan itu baik. Aku yakin Kiara pasti bisa melewati semua ini dan kembali sehat. Kamu percaya kan, Tuhan nggak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya?” Safila berusaha memberikan keyakinan, sementara Neva hanya mengangguk, meskipun ketakutannya belum sepenuhnya sirna.

“Kamu percaya itu. Maka kita harus terus berdoa untuk kesembuhan Kiara. Banyak orang yang mendoakan Kiara cepat sehat. Kiara juga anak yang baik; banyak yang kenal sama Kiara dan Eza. Apa kamu nggak ingat bagaimana ramainya rumah ini saat mendengar kabar duka itu? Banyak teman-teman Eza dan Kiara yang datang ke sini untuk mendoakan yang terbaik bagi kedua anakmu itu, Nev.” Neva terdiam mendengar perkataan Safila, mulai mengatur napas dan berusaha menenangkan diri.

“Bang, tolong ambilkan air minum buat Tante Neva!” perintah Safila kepada putranya.

Seorang remaja lelaki mengangguk ketika diperintahkan oleh sang Bunda. “Ini, Bun,” ucap Liam, putra pertama Safila yang merupakan sahabat Eza, sambil memberikan segelas air.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang