37 : Mengenang

65 25 53
                                    

Selamat Malam Jumat!
.
Sekian lama By hiatus, sekarang by mulai update lagi kok. Semoga kalian suka ya ...
.
Jangan lupa Vote, Komen dan Share ya!
.

Happy and Enjoy♡
——————————

Selasa, 23 Oktober 2018. Tepat empat puluh hari sejak kepergian Eza.

Kiara duduk bersimpuh diam di depan pusara yang dipenuhi taburan bunga mawar merah dan putih yang segar, seolah-olah baru ditata hari itu. Meski sudah empat puluh hari berlalu, tanah kuburan itu masih terasa basah, seakan menyimpan jejak kesedihan yang mendalam.

Ini adalah kali pertama Kiara mengunjungi makam sang kakak. Langkahnya terasa berat, sama seperti hatinya yang penuh luka. Ingatan tentang kecelakaan tragis malam itu membayangi, mengingatkannya pada penderitaan yang ia alami.

Selama empat puluh hari, ingatan tentang kejadian itu kabur, hilang bersama rasa sakit yang terlalu dalam. Baru kemarin lusa, semuanya mulai kembali perlahan dan saat dia termenung di sini, semuanya kembali.

Kenangan masa kecil mereka, tawa bersama, dan momen kebersamaan yang tak tergantikan berputar dalam benaknya, seolah menari di antara angin yang berbisik lembut di sekitar pusara. Kini, hanya sisa-sisa kenangan itu yang tersisa, meninggalkan jejak di hati Kiara yang hancur.

Kiara merasa kemarahan yang mendidih dalam dirinya. Mengapa mereka semua tidak berusaha membantunya mengingat? Apa yang salah dengan membantu seorang adik mengingat sosok kakak yang begitu ia cintai? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, namun tak satu pun jawaban yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Sebenarnya, ia tak pernah menanyakan hal itu secara langsung—lebih memilih untuk menghindar. Sudah tiga hari ia tinggal di Bandung, bersama keluarga Raka, mencoba menjauh dari kegelisahan yang terus menghantuinya.

Hubungan dengan orang tuanya terputus, bukan hanya oleh jarak, tetapi juga oleh kehendaknya sendiri. Ponselnya ia matikan, dan tentang sekolah, keluarga Raka sudah mengurus perizinannya.

Namun, di tengah semua pelariannya, ada satu hal yang tetap membebani hatinya. Rasa rindu pada sang kakak belum juga menemukan tempat untuk berlabuh.

Kiara tak tahu sampai kapan ia akan tinggal di sini, tapi rasanya, selama perasaan itu belum tuntas, ia tak ingin kembali.

Waktu berlalu tanpa terasa. Sudah hampir tiga jam Kiara duduk di depan makam sang kakak, hanya tangis yang mampu ia tuangkan di sini. Air matanya seakan menjadi satu-satunya cara untuk meluapkan kesedihan yang tak kunjung surut.

Di sampingnya, Raka beberapa kali mengusap bahunya dengan lembut. Ia berharap, meski hanya sekadar sentuhan, itu cukup untuk memberi dukungan kepada sahabatnya. Raka memahami betul, betapa berat semua ini bagi Kiara, dan semakin lama ia duduk di sana, semakin ia merasa ikut bersalah.

Ia telah mengikuti rencana kedua orang tua Kiara—membiarkan sahabatnya melewati semua ini tanpa bantuan untuk mengingat.

Dan kini, di hadapan air mata Kiara, ia bertanya-tanya dalam hatinya, bagaimana jika Kiara membencinya setelah ini? Pikiran itu menghantui, membuatnya semakin diliputi rasa bersalah.

Raka kembali menyodorkan selembar tisu kepada Kiara, berharap gadis itu mau mengelap air mata dan cairan bening dari hidung yang terus mengalir. Namun, tatapannya jatuh pada mata Kiara yang kini merah dan sembab, mencerminkan betapa dalam luka di hatinya.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang