26 : Murid Baru

264 137 117
                                    

Lanjut baca?
.
.

Douple up again!!!
.

Happy and Enjoy♡
——————————

Pagi itu, Kiara sudah selesai menyiapkan bekal makan siangnya untuk sekolah. Dengan semangat, ia bergabung dengan Ayah dan Ibunya yang tengah sarapan di meja makan.

"Sarapan yang banyak, ya," ujar Aryo. Kiara hanya mengangguk patuh.

"Kepala kamu masih sakit?" Aryo menambahkan, memastikan keadaan putrinya.

"Enggak, Yah," jawab Kiara cepat.

"Nanti obatnya jangan lupa diminum pas siang," timpal Neva, ibunya. Kiara sekali lagi mengangguk, mengikuti perintah tanpa banyak bicara.

Setelah sarapan, suasana meja makan hening hingga semua makanan habis. Aryo pun melanjutkan, "Nanti berangkat bareng Ayah, jam setengah tujuh, ya?"

"Oke, Yah. Aku siap-siap dulu ke kamar," balas Kiara, sebelum melangkah pergi.

Setelah Kiara pergi, Aryo mendekat ke arah Neva dengan raut wajah yang datar. "Bicara dengan siapa kamu tadi malam?" tanyanya langsung, menatap istrinya tajam.

"Apa urusannya sama kamu, mas?" Neva membalas dengan nada sengit.

"Jelas itu urusanku karena kamu membicarakan Eza! Kamu pikir aku nggak dengar suara kamu yang keras itu? Mana pintu kamar nggak kamu tutup!" suara Aryo penuh tekanan, mencerminkan ketidakpuasan yang mengendap.

"Iya! Aku membicarakan soal Eza, tepatnya empat puluh harian dia. Kamu pasti lupa!" Neva menegaskan, meskipun hatinya bergetar mendengar nada suaminya.

"Aku nggak pernah lupa soal anakku! Dan kamu mikir nggak sih? Gimana kalau ternyata sakitnya kepala Kiara karena dia mendengar ucapan kamu, hah?" tanya Aryo dengan penekanan.

"M-maksud kamu? Waktu aku telponan sama temanku, aku yakin dia masih ada di rumah tetangga kok," kilah Neva, suaranya bergetar meski ia berusaha tampil tenang.

"Pikir saja, Va! Apa yang menyebabkan Kiara kepalanya sakit? Aku sengaja nggak tanyakan dia apa yang dia rasakan karena khawatir memorinya perlahan pulih. Apa kamu lupa kata dokter? Bahkan sebuah perkataan pun bisa memicu ingatannya pulih!" Aryo mengingatkan, wajahnya berkerut menahan emosi.

"Aku beneran nggak tau kalau dia sudah pulang malam itu, dan aku nggak tau juga apa yang dia dengar seandainya memang dia mengintip aku telepon, mas!" jawab Neva, jantungnya berdebar cepat. Ia teringat saat Kiara tiba-tiba ada di dapur, dan perasaan was-was mulai menggelayuti pikirannya.

"Ck, kamu ceroboh!" maki Aryo, suara kesalnya menggema di antara mereka.

"Aku nggak tau, berhenti nyalahin aku!" Neva membalas dengan nada penuh emosi.

Kemarahan dan rasa bersalah saling beradu dalam diri Neva. Ia merasa tidak adil disalahkan atas ketidaksengajaan itu. Dalam hatinya, ia mempertanyakan sampai kapan mereka bisa terus menutupi segalanya dari Kiara. Sering kali, ia terbayang untuk memberitahu rahasia itu, tetapi khawatir akan dampaknya.

Keinginan untuk menyelenggarakan pengajian empat puluh harian untuk Eza semakin menguat. Sebagai seorang ibu, Neva merindukan putranya yang telah pergi, dan rasanya seperti ia terus mengabaikannya. Setiap detik yang berlalu, rasa rindu itu semakin menggerogoti hatinya. Keterpurukan ini membuat Neva merasa semakin tertekan, terjebak dalam rasa bersalah dan kehilangan yang tidak kunjung usai.

"Sampai kapan kita akan menyembunyikan semuanya, mas?" tanya Neva, suaranya bergetar menahan emosi. Ia berharap Aryo bisa merasakan keresahan yang sama.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang