11 : Sosok itu ...

329 185 112
                                    

Holla!!!
Selamat membaca dan menikmati♡
.
.

Happy and Enjoy♡
–——————————

Hari yang ditunggu-tunggu Kiara akhirnya tiba. Kamis sore ini, ia tengah mengemasi barang-barang miliknya dengan perasaan campur aduk.

Setelah sekian lama di rumah sakit, ia akhirnya diperbolehkan pulang—hal yang sangat dinantikan. Dengan semangat, Kiara membantu Ibu dan Ayahnya membereskan beberapa bingkisan yang diberikan oleh para pengunjung yang menjenguknya selama ini. Banyak sekali hadiah yang diterimanya, sebagai perayaan kecil untuk menghormati ketahanannya melewati masa kritis. Meskipun itu bukan hari ulang tahunnya, perhatian yang diberikan oleh orang-orang terdekat membuat hatinya hangat.

Ia bersyukur untuk semua yang telah terjadi. Perlahan, ia berusaha melupakan rasa sakit yang mengganjal di hatinya. Dengan pikiran positif, Kiara mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ada yang disembunyikan oleh keluarganya, namun itu semua demi kebaikannya.

Namun, penglihatan dan ingatannya kadang membuatnya cemas. Kiara seringkali melihat bayangan atau siluet yang tak terlihat oleh orang lain, dan terkadang itu membuatnya merasa tertekan. Ingatan masa kecil yang mengemuka kembali juga menjadi sumber keingintahuan sekaligus ketidakpastian. Dalam mimpinya, ia sering melihat sosok anak kecil bernama Rabella. Dengan wajah ceria, kulit pucat, dan rambut pirang, Rabella tampak begitu hidup di dalam ingatannya, tetapi Kiara tak bisa memastikan apakah sosok itu nyata atau hanya khayalan semata.

"Sudah semua?" tanya Aryo, menatap Kiara dengan harapan.

"Sudah, Yah," jawab Kiara dengan sedikit keraguan.

Aryo mengangguk kecil. "Setelah ini, kita langsung menuju Semarang."

Kiara terbelalak mendengar itu. "Loh, kita nggak pulang ke rumah dulu, Yah?"

"Rumah mana? Rumah lama kita sudah terjual dan sudah ditempati sejak kemarin." Mendengar pernyataan itu, Kiara merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia tak menyangka proses pindahan rumahnya berlangsung begitu cepat.

"Tapi, semua barang-barangku di rumah itu?" tanyanya, suaranya mulai bergetar.

"Beberapa yang masih layak sudah Ibu pilih dan dibawa ke Semarang dua hari yang lalu. Kamu tinggal ikuti keputusan kami," jelas Neva dengan nada tenang.

Kiara menggosok pelipisnya yang mulai berdenyut. Kesal dan bingung, ia menatap kedua orang tuanya. "Jadi, semua barangku yang lain ..."

"Beberapa di antaranya sudah Ayah sumbangkan ke Panti Asuhan. Kamu tidak keberatan, kan? Lagipula, Ayah yakin kamu sudah tidak memakainya lagi," jawab Aryo, berusaha menenangkan suasana.

"Barangku yang mana, sih?" Kiara mendesak, rasa kesalnya kian meningkat.

"Pakaian yang layak, beberapa tas yang sudah lama tersimpan di lemari. Nanti kalau kamu mau, silakan beli yang baru," Aryo menjelaskan dengan nada yang tidak menunjukkan rasa bersalah.

Kiara terdiam, merasa marah dan kecewa. Di satu sisi, ia mengerti alasan di balik keputusan itu; barang-barang miliknya memang sudah terlalu banyak dan tak terpakai. Namun, hatinya tetap merasa dilukai oleh tindakan yang dianggapnya lancang. Dalam benaknya, tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya tiba-tiba terasa jauh dan tak terjangkau.

"Apa kita nggak bisa ke rumah itu sebelum ke Semarang, Yah?" Kiara bertanya, berharap bisa melihat rumah lamanya sekali lagi sebelum meninggalkan kota ini.

"Apa yang ingin kamu jumpai? Rumah itu sudah milik orang lain, Kiara. Ayah sudah menyelesaikan semua urusan di sini," jawab Aryo tegas, tetapi suaranya tak sepenuhnya menutupi rasa bersalah yang mengendap di hati.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang