TIGA PULUH SEMBILAN

42 3 0
                                    

vote!

***

Semenjak pulang dari pemakaman pagi tadi, Shella tak bergerak sama sekali. ia hanya duduk di kursi taman rumahnya dengan tatapan kosong.

Wajahnya pucat, matanya bengkak, benar-benar terlihat menyedihkan. Bahkan ia belum makan dari kemarin sore.

Davian dan yang lain masih dirumahnya. Mereka duduk di taman juga dan tak jauh dari posisi Shella. Mereka begitu sedih melihat kondisi Shella.

Di rumah Shella juga masih ada neneknya dan tante Indah. Ada juga beberapa anggota keluarga dan kerabat lain.

Tante Indah melangkah kearah Shella dengan membawa makanan.

"Shella, makan dulu, yuk. Kamu kan belum makan dari kemarin." Shella tak menyahut bahkan tak menoleh.

Emma yang melihatnya langsung melangkah ke arah Shella dan mengambil alih piring dari Tante Indah.

"Shell, lo harus makan. Kalo nggak makan nanti lo sakit." Emma mengusap bahu sahabatnya.

"yuk nih aaaa" Emma mengarahkan sendok ke mulut Shella. Tapi Shella benar-benar hanya diam.

"ayo dong buka mulutnya, Shell. Lo nggak kasihan sama gue nih?" Emma terus membujuk namun nihil, Shella bahkan tak melirik sedikit pun.

Dari jauh Aqil menatap Shella dengan rasa iba. Ia ingin sekali kesana dan memeluknya. Ingin sekali ia menjadi orang yang dibutuhkan Shella disaat seperti ini. Tapi apa dayanya yang bukan siapa-siapa.

Emma mengode Davian untuk ikut membujuknya. Davian yang sedang merokok bersama yang lainnya langsung mematikan rokoknya dan mendekat ke arah Shella.

Davian mengambil piring dari Ema dan meletakkannya di meja. Ia duduk tepat di sebelah Shella.

"Shella, gue tahu lo sedih. Tapi lo jangan takut, karena gue ada buat lo. Teman-teman yang lain juga akan selalu disebelah lo. Lo nggak akan kesepian." Ucap Davian penuh pengertian.

"Lo harus kuat, Shell. Sekarang makan ya? Yuk gue suapin" Davian lalu mengarahkan sendok ke mulut Shella.

Shella tak berkutik dan tetap diam. Davian berdeham seolah berpikir.

"gimana ya biar Shella kesayangan gue ini mau makan?" Tanya nya mencoba menghibur Shella.

"atau lo mau minum susu aja? Biar perut lo keisi seenggaknya. Gue bikinin ya." Davian berdiri dari duduknya.

"gimana gue bisa makan, sedangkan mama pergi disaat dia belum makan dan lapar?" Davian kembali duduk mendengar suara Shella.

"mama suruh gue stay sama dia, tapi gue tetap pergi keluar buat beli makan. Gue ninggalin dia sendirian di saat-saat terakhirnya" Shella meneteskan air mata.

Davian dengan cepat merangkul Shella, meletakkan kepala Shella di bahunya dan mengusap-usap bahu Shella.

"gue ninggalin mama di saat terakhir nya. Gue--" Shella terisak.

"gue harusnya nggak mengirim mama ke rumah Rehabilitasi, kak. Tapi gue menyiksa dia. Anak macam apa gue?"

Tangisannya semakin deras, Membuat hati siapa pun yang melihatnya pasti terasa mencelus. Shella menatap Davian penuh sesak.

"gimana gue bisa hidup, kak? Sedangkan gue bunuh ibu gue sendiri secara nggak langsung." Shella memukul-mukul dadanya sendiri.

Davian menahan kedua tangan Shella. "Shella, lo harus tenang. Ini semua bukan salah lo. Jadi stop salahin diri lo atas kejadian ini. Lo mau mama di sana sedih melihat lo begini?"

"mama, maafin Shella, ma. Shella yang pantes pergi, ma, bukan mama."  Shella terisak, Davian yang tak kuat melihatnya langsung memeluk Shella erat seolah menyalurkan kekuatannya.

Shella terus menangis dipelukan davian. Mata davian berkaca-kaca. Tidak, bukan hanya Davian, tetapi semua yang melihatnya.

Tante Indah yang tak terlalu jauh darinya menangis dengan penuh rasa bersalah.

Begitu pula neneknya, mereka semua bersedih. Duka yang dirasakan mereka amat dalam.

Duka ini terlalu menyesakan untuk Shella. Bagaimana mungkin Astrid meninggalkannya dan memilih menjemput ajalnya sendiri.

***

nyesel bgt gak si lo kalo jadi shella huhu . jangan lupa di vote and comment ya

-salam author cantik

MY ANNOYING BAD BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang