14| Stop Thinking about Your Ex

9.6K 652 30
                                    

Tangannya menyugar helai rambut Robyn yang jatuh di kening. Guratan di wajah pria itu menunjukan betapa dia kelelahan dan mungkin juga kurang tidur. Bagian bawah matanya menghitam.

Seakan-akan dia sudah menua melebihi usianya.

Vic belum dan tidak akan bisa membayangkan berada di posisi Robyn. Sejak dulu dia tidak menyukai rumah sakit—dia tidak memiliki fobia, tetapi segala sesuatu yang menyangkut rumah sakit membuatnya takut. Bahkan drama Korea yang mengangkat tema medis kerap kali dia hindari.

Dulu, setiap hari dia melihat bagaimana Robyn kelelahan dan kurang tidur. Waktu untuk makan pun nyaris tidak ada sehingga sering kali Vic menyiapkan makanan atau pada waktu mereka sedang bersama, Vic akan menyuapi makanan sementara Robyn belajar.

Kalau mengingat masa itu, Vic ingin tertawa.

Orang-orang yang melihat mereka—terutama teman dekat Robyn—seringkali mengatakan Vic jadi seperti sosok ibu buat Robyn. Vic menyukai itu. Dia sama sekali tidak keberatan dan ikut merasa bangga ketika Robyn berhasil menyandang gelar lulusan terbaik.

Tidak pernah sekalipun dia menduga akan tiba waktu di mana Robyn akan datang kepadanya dan mengatakan bahwa dia telah gagal.

"You can always come to me when you're tired," bisiknya sambil mengusap wajah pria di hadapannya. 

Vic memejamkan matanya, menempelkan kening mereka dan samar dia bisa mendengar suara dengkuran pria itu. 

Vic mungkin tidak ada di lokasi saat itu, tapi cerita Robyn cukup membuatnya takut dan ikut bersedih. Dalam keadaan terguncang pria itu menceritakan bagaimana kondisi Ilyas terus memburuk dan menjelang pergantian shift, sahabatnya itu berhenti bernapas. Sekarang Vic ingat. Pernah ada masa di awal pandemi di mana Robyn tidak pulang berhari-hari. Tidak ada kabar sama sekali. Tahu-tahu, saat pulang, pria itu jadi lebih pendiam.

"You did enough, Byn. You're just a doctor, a human, you can't control someone's life. Ilyas pasti tau lo udah berusaha dan dia mau lo istirahat ... damn, I can't," gerutu Vic sambil mengembuskan napas. Dia menggeleng lemah lalu menatap langit-langit kamar. "I don't know what to say. I've never been there and I wish I knew how to comfort you."

Mata Vic melirik pada sosok Robyn yang masih terlelap. Beruntung pria itu masih tertidur karena Vic tidak tahu akan seburuk apa respon yang dia berikan seandainya pria itu menginginkan sebuah jawaban atau solusi.

Bangkit dari tempat tidur, Vic memerhatikan jam di ponselnya. Jam makan malam sudah lewat dan dia mulai merasa lapar. Setelah menyelimuti Robyn, Vic berbisik, "gue cari makan dulu, ya? Mimpi indah, Byn." Dia lalu mengecup pipi Robyn dan keluar dari kamar sekalian mencari udara segar.

"I wonder what will she do if she was here," ujar Vic pada dirinya sendiri selagi menyusuri lorong menuju lift. Dia mendongak dan menatap lampu-lampu yang bersinar keemasan. "Probably better than what I did.

Selagi menunggu lift tiba, Vic menatap pantulan dirinya di permukaan pintu lift. Karena tidak ada siapa-siapa, dia memberanikan diri mengambil beberapa mirror selfie. Usai berfoto, dia memeriksa hasil jepretannya dan terfokus pada tulisan pada karpet yang dipijaknya; William Famiglia by Tamara Group.

Jujur saja, Vic belum pernah masuk ke hotel bintang lima sebelumnya. Ini adalah pengalaman pertama dan bisa jadi yang terakhir selama pandemi ini. Atau seterusnya. Mengingat hotel ini, untuk sekali booking saja, harganya nyaris mencapai 4 juta rupiah.

Alasan lain dia tidak mungkin sering-sering ke tempat ini adalah karna hotel mewah ini merupakan milik keluarga Robyn.

"Kayaknya beda sama yang waktu itu, deh. Pacarnya kan seksi banget, badannya semok gitu. Terus katanya dokter spesialis, 'kan? Cewek yang ini nggak keliatan kayak dokter."

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang