52| The Future Without You

4.1K 416 30
                                    

"Apa?"

Vic mengangkat kepalanya. Memutuskan sudah saatnya menatap lawan bicaranya alih-alih sepasang sandal berbahan kulit di bawah sana. Wanita itu melotot. Masih tidak bisa percaya dengan berita yang didengarnya.

"Kamu bilang apa tadi?"

Ada sedikit perubahan ekspresi yang tidak bisa Vic artikan dari lawan bicaranya. Tidak mengerti apakah dia terkejut karena tiba-tiba mereka berdua menjadi tontonan saat sarapan atau terkejut karena dia baru saja mengutarakan sesuatu yang tidak seharusnya dia katakan. Tangan Fabian memegangi area mulutnya. Mata pria itu mulai bergerak-gerak mencari titik fokus dan genggamannya semakin mengendur.

Ini bukan karakter Fabian.

Mengucap sesuatu tanpa dipikir atau membuat keputusan secara tiba-tiba di luar kendalinya.

Dari sedikit waktu yang sudah mereka habiskan bersama, Vic sudah menyimpulkan ada yang salah dengan lelaki di hadapannya. 

"Kamu nggak serius, 'kan?" Suaranya menjadi fals dan Vic tidak peduli. Dia hanya ingin memastikan dan membuat Fabian mengulang kalimatnya sambil menatapnya. Bukan dengan melihat ke sembarang arah begitu. "Yan, kamu nggak akan ngejual kafe kamu begitu aja, 'kan?"

"Kita bicara di tempat lain—"

"Aku mau denger sekarang!"

"Kamu sadar kan kita diliatin banyak orang?"

"We're just talking not having sex!" tukas Vic sambil menarik tangannya dari genggaman Fabian.

Tidak ada pilihan lain. Fabian sudah tidak mau berdebat di depan penonton yang semakin banyak dan mulai mengelilingi. Hal terakhir yang diinginkannya hanyalah menjelaskan semuanya pada Vic, bukan ditangkap keamanan karena menciptakan kerumunan.

"Kita akan bicara dan kamu ... " tangan Fabian kembali mencengkeram lengan Vic " ... ikut saya!"


✿✿✿


"Yan, lepasin aku!"

"You're hurting me—"

"Fabian!"

Bukan teriakan Vic yang membuat Fabian tersentak dan berhenti menyeret Vic menjauhi kerumunan, melainkan usaha wanita itu menarik tangannya dengan begitu keras hingga Fabian bisa merasakan jemarinya menggores sesuatu. Benar saja, setelah melepaskan diri, Vic memegangi lengan bawahnya yang memerah dan menepis uluran tangan Fabian.

"Biar saya liat tangan kamu."

"Lo ... gila," desis Vic dengan suara gemetar. Dia memandangi lengannya. Bekas goresan itu membentuk garis putih tegas. Sekitarnya memerah. Lama-lama mulai membentuk peninggian. Rasanya panas dan perih. "Mau lo apa, sih?"

Mungkin intonasi dan cara Vic bicara sudah membuat Fabian tersinggung. Pria itu seperti tidak terima dengan jarak yang Vic buat dari caranya berbicara, tapi apakah penting? Setelah semua yang pria itu lakukan ia bahkan layak untuk dijauhi oleh Vic.

Memutuskan untuk tidak memperpanjang, Fabian melihat sekelilingnya. Sebuah bengkel yang masih tutup. Kendaraan berlalu-lalang sesekali, tapi itu jauh lebih baik. Kalau memang Vic tidak mau diajak ke tempat yang lebih layak, maka jadilah mereka akan berbicara di sana. "Dengarkan apa yang harus saya jelaskan dulu," mulai pria itu selagi melepaskan maskernya.

"Jadi kamu sudah tahu tentang ULILA-1 dan bagaimana grup itu beroperasi, tapi ada yang nggak kamu ketahui. Untuk itu seharusnya kamu bicarakan baik-baik sama saya."

"Apa?" tantang Vic. "Tentang cara lo memanfaatkan puluhan mahasiswi demi uang? Atau tentang perempuan yang foto telanjangnya berhasil bikin lo dapet satu unit apartemen? Atau ... oh, ya! Iya, bener. Lo sekarang lagi mikir gimana caranya bisa nidurin gue demi beasiswa S2 dan kursi di ULILA."

"Saya mengundurkan diri dari grup itu, Victoria."

"Kenapa?" Vic mengabaikan fakta bahwa Fabian baru saja mengubah intonasinya. "Apa yang bikin pemain terbaik ULILA-1 tiba-tiba berubah pikiran? Nggak mungkin karena karena alasan pandemi dan kampus diliburin, 'kan? Karena yang gue tau lo bisa menyelesaikan misi di Dufan sama mahasiswi di kelas lo. Terus apa, Yan? Hadiahnya kurang? Atau karena gue terlalu gampang lo tidurin, jadi perpustakaan bukan tantangan bagi lo?"

Fabian menggertakan giginya. "Jaga mulut kamu, Victoria. Kamu sudah kelewatan."

Vic pun bungkam. Menahan semua ledakan yang masih memenuhi kepalanya. Dengan kasar dia membuka maskernya. Pengap. Lalu mengatur napasnya yang menderu dan semakin membuatnya sesak. 

"You know what, Yan?" mulai Vic kembali. Dengan napas yang lebih teratur dan amarah yang terkendali. Vic memejamkan matanya, memikirkan kembali semua dalam kepalanya, lalu mengangguk pelan. "Iya, gue kelewatan. Gue juga melanggar kesepakatan kita di awal dan mengganggu privasi lo. Untuk itu gue minta maaf and I really mean it."

"Karena kamu," ujar Fabian sebelum Vic mulai bicara lagi. "Saya tau apa yang saya lakukan itu salah dan saya nggak mau melakukan kesalahan itu pada kamu, Vic. Saya bahagia bersama kamu. Untuk kamu saya rela mengorbankan semuanya, saya siap untuk berjuang dari awal, saya mau melakukan apapun demi kamu."

Pria itu melanjutkan, "kamu yang ngebuat saya bisa menghargai semua usaha dan jerih payah saya selama ini. Saya bisa aja memanfaatkan kamu demi hadiah-hadiah itu, menyelesaikan misi sebelum tenggat, dan kita selesai. Tapi saya nggak mau. Yang bikin saya bahagia bukan uang atau jabatan, kamu, Victoria. Yang saya mau itu kamu."

"But I don't want it, Yan."

"Vic, saya mohon," pinta Fabian segera meraih kedua tangan Vic. "Maafin saya dan kasih saya kesempatan. Saya yakin bisa memperbaiki semuanya. Kasih saya waktu untuk membuktikan, Victoria."

Vic merapatkan bibirnya. Menatap bagaimana kedua tangannya erat didekap oleh mantan kekasihnya tersebut. 

Aneh.

Ini aneh.

Victoria yang dulu mungkin akan luluh dan menelan semua penjelasan serta janji-janji itu. Namun, Victoria yang kini berdiri tegak bukanlah sosok yang sama. Dia tidak bisa lagi merasakan apa-apa selain kekecewaan dan amarah. Bahkan setelah mengucapkan maaf karena melanggar perjanjian pun, Vic sudah tidak paham apa yang sebenarnya dia rasakan.

Semuanya hambar.

Semuanya terasa kosong.

Dan hampa.

"Oke."

Dua pasang mata membelalak.

Yang satu karena menganggap ada kesempatan kedua, sementara yang lain karena tidak menyangka kalimat itulah yang malah meluncur dari mulutnya.

"Gue akan ... gue udah maafin lo." Bahkan jauh sebelum pria itu meminta. "Lo berhak dapet kesempatan untuk memperbaiki semuanya dan menjadi Fabian Efraim yang lebih baik." Vic menelan ludahnya. Kelu. "Tapi bukan gue yang akan menilai semua itu."

Tangan Fabian memegang bahu Vic. "Apapun, Victoria. Apapun yang kamu minta akan saya penuh, asalkan kita—"

Vic melepaskan pegangan tangan Fabian sambil menggeleng. "Lo nggak ngerti, Yan. Yang seharusnya mendapat maaf itu bukan gue, tapi semua perempuan yang udah lo manfaatin. Mereka semua cuma perempuan yang merasa bahagia karena bisa dekat sama idola mereka dan nggak ada satu pun yang menyangka rasa kagum mereka malah jadi bumerang. Yang harus lo perbaiki adalah kekecewaan mereka, rasa percaya mereka ... perasaan mereka. Bukan hubungan kita."

"I'm sorry ... there'll be no us. We're done, Fabian Efraim."


-------------------------------




When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang