54| The Patient's Son Is A Doctor

4.6K 391 46
                                    

"Byn!"

Robyn terkesiap, panik, dan kebingungan melihat di mana dia berada. Masih dengan rasa berputar yang membuatnya kesulitan untuk membuka mata dan ngilu di setiap persendian, dia mulai bisa mengingat di mana dia berada.

"Robyn!"

"Yes!" jawab Robyn sambil mengusap wajahnya, menghilangkan bekas-bekas tidak menarik di wajahnya, lalu membuka kaca. "Um, hai! Good morning, Ta."

Genta, salah satu teman Robyn, menatap heran. Dia melongok ke dalam mobil. "Lo tidur di sini semaleman?"

Tentu saja Robyn ikut kebingungan dan menyaksikan interior mobilnya. Bangku penumpang di sampingnya masih terdapat tumpukan bungkus makanan dan botol kosong, di belakang masih ada satu tas jinjing besar, sebuah selimut, sebuah bantal, dan satu buah ransel yang isinya berserakan di mana-mana. 

"Gue udah nyuru lo pulang," tegur Genta sambil bertolak pinggang. "Atau seenggaknya nginep di sebelah."

Robyn mengerutkan hidungnya. Memilih mengambil botol air minum yang ternyata sudah tidak ada isinya. Bisa saja dia menginap di hotel di sebelah rumah sakit, jika mereka masih punya ruangan kosong yang bisa dihuni oleh orang sehat. Tidur di mobil jauh lebih rasional jika dibandingkan dengan tidur di ruang tunggu yang isinya bising suara tangis, obrolan bahasa daerah, dan pengajian mendadak. Walaupun semalaman dia diserbu nyamuk dan udara panas—ya, ya. Jauh lebih bagus daripada harus mati lemas demi menyalakan AC semalaman.

Dia berdecak menatap tiga botol kosong di dalam mobilnya.

"Gue masih harus lapor pasien di bangsal. Kayaknya sekitar jam sepuluh gue selesai, abis itu ada yang harus gue omongin."

"How's my mom?"

"Worried sick because her only son slept in a car last night."

Genta menepuk bahu Robyn sebelum pergi. "Nanti gue balik lagi."

Dan belum sampai satu meter Genta menjauh, Robyn berteriak. "Ta! Sekalian pinjem charger, punya gue ketinggalan di kosan!"


✿✿✿


Sekembalinya Genta dari bangsal, Robyn langsung menyambar kabel charger dan berdecak melihat nasib ponselnya mati total. Semalaman dia tidak pulang, pasti Vic sudah menyerbunya dengan SMS, chat, dan miscalls.

"Lo tadi udah sarapan, kan?" Pertanyaan basa-basi itu Robyn ajukan pada orang yang membawakannya seporsi nasi goreng dalam disposable bowl, sepotong risoles, dan sebuah pisang. Lengkap dengan sebotol air mineral berukuran 1.5L.

Dilihat dari tatapan matanya yang begitu kentara, Robyn yakin Genta sudah sarapan dan tidak akan protes jika jatah sarapan dan snack dia habiskan. Dalam hatinya Robyn iri terhadap kepedulian pihak rumah sakit tempat Genta bekerja. Dibandingkan tempat bekerjanya dulu yang hanya memberikan variasi susu kotak atau sebungkus minuman sereal yang selalu berakhir ditumpuk di sudut kamar jaga.

"Semalem Vic nge-chat dan baru gue baca tadi pagi. Katanya lo nggak cerita soal nyokap lo dan nggak pamit mau ke sini," ujar Genta yang bolak-balik membuka aplikasi chat, mengetik, membuka notes, dan kembali mengetik di kolom chat. "Gue bilang mau nelpon dia, tapi nggak diangkat."

"Nggak usah dikasih tau ... I mean, no need to tell her now. I'll do it later when everything—"

"Gue nggak mau bohong lagi ke dia," Genta masih mengetik di ponselnya. "Kalo lo mau nutupin semua ini dari Vic, silakan. Gue akan kasih tau apa yang gue tau tentang nyokap lo, sisanya urusan lo."

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang