22| The Gossip Guys

7.6K 512 39
                                    

Robyn yang sedang menggoreskan mata pena pada secarik kertas mendengkus melihat kertasnya begitu bersih. Hanya ada bekas goresan tanpa ada sedikit pun nyala tinta. Pada sebatang pulpen dalam genggamannya, Robyn melotot.

"Buat apa sih pulpen lucu-lucu kalo nggak nyata?" gumamnya sambil menggoyangkan pulpen tersebut, berharap tintanya akan turun dan bisa digunakan kembali. Namun, setelah beberapa kali mencoba, hasilnya tetap nihil.

Pulpen ungu dengan bandul pom-pom ungu itu akhirnya Robyn lempar dan berakhir di dalam tempat sampah.

Masih sambil mendengarkan narasumber di laptop, Robyn mengedarkan pandangannya di sekitar meja. Sejauh matanya memandang, tidak ada satu pun wadah berisi alat tulis. Memang, sih, ada satu wadah hitam yang biasa dipakai untuk menyimpan alat tulis, tetapi saat Robyn coba cari, yang dia temukan hanyalah berbagai pensil alis, eyeliner, dan lip liner berbagai merk dan warna. Sebenarnya bisa saja Robyn pakai salah satu karena situasi darurat, tapi bayang-bayang Vic marah karena kosmetiknya dipakai sembarangan membuat sang dokter mengurungkan niat.

Teksbuk kuliah, buku nonfiksi yang fokus pada self-improvement, novel, novel, novel ... dan Robyn berdecak karena tidak kunjung menemukan alat tulis yang layak. Dia akhirnya membuka laci meja, mengacak-acak, dan berhasil menemukan sesuatu yang bentuknya seperti pulpen.

"Bukannya beli alat tulis, malah numpuk kosmetik," keluh Robyn sambil menyalin poin yang terpampang di layar laptop ke sebuah notes. Sama, buku kecil berwarna ungu dengan gambar domba itu pun dia ambil secara acak dari tumpukan buku di meja Vic.

Narasumber kembali berbicara. Menjelaskan update terbaru mengenai tatalaksana Covid-19 di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tata cara pelaporan apabila didapati kasus yang dicurigai sebagai kasus Covid-19. Karena si narasumber terdengar hanya membaca apa yang tertulis di slide, Robyn pun bersandar pada punggung kursi.

Matanya memandang pada satu titik.

Pikirannya telah berlarian entah ke mana.

Tangannya sempat gemetar, tetapi dia berhasil mengalihkan dengan memegang benda atau apapun. Dia bahkan sudah berkali-kali memijat kening karena sakit kepala.

Bukan karena tensinya sedang naik akibat tidak minum obat sejak kemarin.

Topik Covid 19-lah yang membuatnya tidak bisa memusatkan pikiran.

"Fuck!" desisnya sambil memukul lengan kursi yang didudukinya. Dia beranjak dan hendak ke kamar mandi, tetapi langkahnya berhenti tepat di depan tumpukan barang-barang milik Vic.

Sebelah alis Robyn terangkat.

'I'd give the world just to see you again - Satria'

Tidak perlu membuka untuk tahu apa isi di dalam bungkusan yang sudah menggunung dan menutupi jalan menuju kamar mandi. Beberapa bungkusan bahkan jelas memperlihatkan logo brand pakaian elite yang-Robyn 100% yakin-bukan selera Vic.

His girl loves simple and cute purple things. Not some crazy-assed branded stuffs.

Dan pertanyaan mengapa ada secarik kartu nama bertuliskan sebuah pesan mesra menempel pada hadiah-hadiah kini memenuhi kepala Robyn.

Kenapa 'Satria' bisa mengirimi hadiah-hadiah itu?

Untuk apa pria yang bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan di daerah Jakarta Selatan itu membuang waktunya mencoba memberi perhatian berlebih untuk Vic?

Dari arah pintu, Robyn mendengar suara kunci sedang dijejalkan ke lubang. Bunyi gemerincing yang hanya dimiliki oleh si pemilik kamar.

Sambil mengantongi kartu nama yang dia temui, Robyn kembali duduk di kursinya.

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang