62 | Family Comes First I

2.8K 225 53
                                    

" ... I mean it."

"W, what?"

"Yang barusan gue bilang ... " Ganesa mengangguk yakin " ... gue serius, Vic."

"Y, yeah ... I know," ucap Vic pelan.

Dia tidak yakin harus melihat ke arah mana dan harus berbuat apa setelah mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Ganesa.

Ya, seorang Ganesa Hutama.

Laki-laki yang—sudah menjadi rahasia bersama—tidak menyukai hubungan dengan komitmen.

And yet he said he's willing to change his mind.

Only for her.

For her?

"My younger self would be happy to hear that." Kedua matanya akhirnya melihat pada tangannya sendiri yang masih digenggam erat oleh Ganesa. Tangan besar itu memberi rasa hangat dan ketenangan. Sesuatu yang Vic butuhkan untuk suasana hatinya yang sedang kacau balau. "But I don't see you that way, Gen."

Setelah menarik napas panjang, Vic mengembuskannya perlahan. Dia mencoba menenangkan diri dan mengatur ulang kata-katanya di dalam kepala.

Siapa yang bisa mengira bahwa menolak sebuah lamaran ternyata bukanlah hal mudah—terlebih, yang melamar adalah orang yang pernah dia harapkan.

Bahkan setelah Vic menyadari posisinya yang tidak bisa beranjak jauh dari kata 'teman baik'. Ya, hanya sebatas itu. Atau lebih tepatnya, seperti seorang kakak.

Namun, mengatakan bahwa Vic melihat Ganesa sebagai seorang kakak pasti akan sangat ... salah. Setelah semua hal yang mereka lakukan—dan tidak pantas dilakukan dua individu 'kakak-adik'—Vic sudah tidak bisa lagi merasakan debaran jantungnya berpacu seperti seseorang yang sedang dimabuk asmara.

It's all platonic between them.

"Gue seneng dan berterimakasih karena lo mau berubah pikiran, tapi gue nggak bisa, Gen."

"Nggak bisa atau nggak mau?"

Vic terdiam.

Menyadari itu, Ganesa pun berdeham. "It's okay. You don't have to answer that—"

"No, you're right," sela Vic sambil mengangguk kecil. "Gue harus lebih tegas lagi dan harus bisa ngomong dengan jelas—gue nggak mau, Gen."

Seraya menegakan tubuhnya, Vic pun mengulang kata-katanya, "gue nggak mau main-main sama perasaan orang lagi. I've learned my lessons, makanya gue nggak bisa nerima lamaran lo."

Ganesa mengangkat satu tangannya untuk menghentikan Vic. Pria itu menggeleng kecil. Ia melarang Vic menjadikan patah hatinya semakin menyedihkan.

"Should've stopped a while ago, but I needed to hear it directly." Pria itu mengangkat kepalanya, mensejajarkan garis pandang mereka meski ia tahu Vic masih tidak nyaman menatapnya usai mendengar lamaran tadi. "Gue terima keputusan lo, tapi ada satu hal yang mau gue denger."

"What is it?"

Ganesa kembali menggenggam kedua tangan Vic dan semakin mengeratkan genggamannya. Pria itu mengusap pelan punggung tangan Vic dengan ibu jarinya. "Promise me one thing."

Raut wajah pria itu berubah.

Air mukanya kini tampak serius.

Seolah apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak atau dibantah.

"Gue minta tolong ke elo untuk tetap kuat. Lo bukan lagi Victoria yang dulu gue temui di warung rokok belakang SMA Dirgantara. Lo adalah Victoria dan Victoria yang saat ini duduk di depan gue adalah wanita yang kuat. Remember the reasons why you're here. All the reasons you told your family back then—let's make them come true."


When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang