19| The Cookies

8.6K 579 54
                                    

"Sudah dibayar ongkirnya, Mbak."

"Oh, ini emang untuk Mas, kok. Makasih, ya."

Vic mendorong pagar dengan tubuhnya lalu menggunakan kakinya untuk mengunci slot. Sambil menatap bungkusan dalam dekapannya—bungkusan besar dari kertas tebal berwarna coklat dengan pita ungu—dia berjalan menuju dapur.

"Gue kira nggak ada orang," ceplos Vic ketika melihat sosok Fabian sedang serius menatap tabletnya di dapur. Pria itu tampak begitu kasual hanya dengan kaus polo hitam dan celana pendek. Rambut yang biasa diberi pomade itu hari ini dibiarkan apa adanya. Penampilannya saat ini berhasil menutupi usia pria itu—Vic jadi merasa sedang melihat teman seusianya.

"Yang lain di mana?"

Fabian tidak mengangkat kepalanya dari tablet yang sepertinya sedang menampilkan dokumen dengan banyak tulisan. Tangan kanan pria itu memegang sebuah stylus dan bergerak di atas permukaan tablet. "Gen lagi beli sikat, Mike ada di atas lagi mindahin tv sama PS. Jacob ..." Fabian mengangkat kepalanya dan melihat Vic mencuci tangan "... sama Robyn lagi cek-cok di ruang laundry."

"Oh, oke," seru Vic singkat. Benar juga. Kamar Vic berada tepat di bawah ruang laundry dan sejak tadi Vic bisa mendengar suara aliran air. Bahkan ketika keluar kamar, samar-samar ada suara menggelegar Robyn yang sedang menegur Jacob. 

"Fathia baru selesai makan dan katanya mau tidur."

Vic meringis. "Nice info," ujar Vic getir sambil melihat tumpukan piring dan mangkok kotor yang dibiarkan begitu saja di tempatcucian. Wanita itu menggeleng pelan lalu mulai membuka bungkusan yang baru dia dapatkan.

Sebelum membukanya, Vic memotret paket yang dia dapatkan. Setiap benda yang dia keluarkan dipotret dan setelah disusun di atas meja, Vic kembali memotret. Entah sudah berapa banyak gambar yang diambilnya dan dia tidak bisa berhenti sampai Fabian akhirnya bertanya.

"Endorsement?"

"Bukan," sangkal Vic dengan rona merah di pipinya. Dia pasti sudah terlihat sangat freak karena tidak berhenti memotret kemasan benda yang dia dapat. "Hadiah dari temen. They sent it because they know I'm not feeling good today."

Kening Fabian tampak mengerut. "They?"

Sambil membuka sebuah kotak berbentuk persegi panjang, Vic mengangguk. "Shared account between siblings. Gue kenalan di komunitas pecinta buku di Twitter dan setelah lumayan lama kenalan, mereka ngasih tau bahwa yang megang akun itu ada dua orang. They both so fun to talk to and they're so sweet. Oh my god! Lucu banget! Yan, liat deh!"

Fabian bisa melihat ada enam potong macaron dengan variasi warna biru-ungu yang disusun berjejer. Hal lain yang bisa pria itu lihat adalah bagaimana mata Vic berbinar penuh kagum menatap makanan manis.

"Gue nggak tega makannya, nih," keluh Vic yang lantas memeriksa bungkusan lain. "Soft dough cookies, cupcakes, and the only thing I can consume today is the coffee."

Sambil menggerutu Vic mengambil dua buah gelas, mengisinya dengan es batu, dan menuangkan kopi. Satu gelas diberikan untuk Fabian.

Melihat tatapan bingung Fabian, Vic segera menjelaskan. "Kalo lo nggak mau juga nggak apa-apa, Yan."

"Kenapa kamu pikir saya nggak mau?"

"Hm, karena brand pesaing?"

Fabian tertawa kecil sambil menggeleng. "Kamu kira pikiran saya sebuntu itu, ya?"

Vic memalingkan wajahnya dan tertawa canggung. Untuk menutupi kecanggungannya, Vic mengambil sepotong macaron dan melahapnya. Responnya membuat Fabian terkejut—Vic memekik sambil mengentakan kedua kaki di lantai—dan buru-buru Vic menyodorkan isi kotak itu pada Fabian. "Lo harus coba ini enak banget. Sumpah, Yan! Gue nggak bohong."

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang