31| The Calm Before the Storm - 4

6.5K 509 207
                                    

Mike bergegas bangkit dan menekan tombol 'pause' pada konsol game saat layar ponselnya menampilkan tampilan panggilan dari driver ojek online.

"Pak, ini rumahnya yang gedung bertingkat? Yang pagernya kayu atau yang pagernya kecil?" tanya driver di ujung sana. Samar-samar terdengar bunyi dentingan tiang listrik yang diketuk.

"Sama aja, Pak. Bapak ke pager kecil aja," perintah Mike sambil berlarian menuruni tangga. "Bentar saya ke sana."

Dengan melangkahi dua anak tangga sekaligus, Mike melesat menuju pagar dan menyambut kedatangan camilan sorenya.

"Makasih, Pak," ujar Mike semringah sambil membawa bungkusan makanan. Dia segera ke dapur untuk mengambil piring dan alat makan, tetapi mengurungkan niatnya ketika samar-samar dia mendengar suara tangisan.

Berdecak, Mike akhirnya putar balik menuju tangga.

Yaaah, sudahlah.

Rencana makan sambil melanjutkan main game harus diganti jadi makan dulu baru main game. Terdengar membosankan, tapi jauh lebih baik daripada harus berpura-pura mempedulikan orang lain menangis.

Apalagi kalau orang itu bernama Fathia.


✿✿✿


Sesampainya di Lima Café, seluruh lahan parkir sudah terisi hingga ke pinggir ruas jalan raya. Umumnya, lahan parkir yang sharing bersama minimarket di lantai bawah itu muat untuk 2 mobil, satu ruas yang cukup untuk setidaknya beberapa motor, dan 2 mobil tambahan yang diparkir paralel. Namun, apa yang dilihat Fabian sekarang membuatnya mengerutkan kening.

Bahkan spot khusus untuk mobilnya sudah terisi sebuah sedan hitam entah milik siapa.

Belum sempat memarkir mobilnya, Fabian segera dihampiri Abas. "Kenapa rame begini?"

"Tamu, Mas. Katanya udah janjian sama Mas Bian dan sekarang mereka nunggu di lantai atas."

Kening Fabian mengerut tidak mengerti. Dia memang ada janji mau bertemu seorang kenalan dari kampus. Satu orang. Masa iya mobilnya sebanyak itu?

"Udah kabarin tukang parkirnya? Jangan lupa izin juga sama orang minimarket, biar nggak nyerocos."

Fabian keluar mobil dan membiarkan Abas mengambil alih.

"Kalo itu udah diurus sama Mas Dygta, Mas. Saya juga bilang ke Pak Bekti untuk tarikin tarif parkir sekalian," lapor Abas sambil cengar-cengir di balik faceshield-nya.

Fabian menatap Abas dengan curiga.

"Ada tip lembur, kan?" tembak Abas sambil nyengir.

Fabian mendengkus. "Jangan ngelunjak. Urusin dulu itu paket di belakang sama di bagasi."

Begitu Fabian membuka pintu kafe, dia sudah bisa mendengar gelak tawa heboh dan kebisingan dari lantai atas. Astri sempat menyapanya ketika sedang menyerahkan bungkusan pada seorang driver ojek.

Ruangan pribadi Fabian sebenarnya ada di lantai yang sama dengan sumber kebisingan sore itu. Namun, dia tidak ingin langsung menemui tamu tak diundang dan memilih menggunakan tangga darurat yang terletak di luar ruangan. Begitu sampai di ruangannya, dia menyalakan lampu dan segera meletakan laptop di mejanya.

Selagi menunggu laptopnya hidup, dia melihat tumpukan surat dan paket yang ditumpuk Abas di meja kecil di sudut ruangan. Salah satunya adalah paket dari toko buku yang ditunggunya sejak sebulan lalu. Paket itu dibawanya ke meja lalu dibukanya.

Dua buah buku yang masih disegel dipindahkan ke dalam sebuah paperbag ungu. Sampah-sampah sisa pembungkus dia singkirkan dari mejanya.

Layar laptop Fabian sudah menyala sepenuhnya dan menunjukan wallpaper hasil editan yang tampak seperti scrapbook. Di sudut kanan atas ada foto polaroid dirinya dan Vic yang mereka ambil tiga hari setelah mereka resmi pacaran. Pada bagian lis putih dituliskan tanggal mereka jadian dan ada hati merah memfigura polaroid tersebut.

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang