34| Why We Argue - 2

5.2K 479 69
                                    

🔞🔞🔞

Warning:

Panas.

🔞🔞🔞


Vic terperangah melihat kamar Fathia ketika mencoba menyusul dan berakhir ikut masuk ke kamar nomor 4B itu. Saat pintu dibuka, semerbak wangi bunga menyambut indera penciumannya. Baunya seperti bunga lavender dan masih kuat, seakan baru saja disemprotkan.

Ruangan itu memiliki cahaya yang cenderung redup dan didominasi oleh warna yang membuat dada Vic berdebar-debar; ungu.

Semua barang yang ada di ruangan itu memiliki ragam warna ungu. Tirai jendela, sprei dan selimut, taplak meja, lampu hias, bahkan hingga pakaian dalam yang tergeletak di atas tempat tidur ... semuanya warna ungu.

Vic mengernyit.

"Mau apa kamu ke sini?" tegur Fathia dengan nada tidak suka. Dia melotot melihat Vic ada di kamarnya. Berkas air mata yang tadi dilihat oleh seluruh penghuni sudah menghilang dari wajahnya.

Wow, that was fast ... batin Vic yang mencoba untuk tidak terlalu terkejut.

"Mau ngetawain aku?" tuduh Fathia dengan nada ketus. "Seneng, ya? Karena aku dipojokin di luar sana padahal aku nggak ngapa-ngapain? Pasti kamu puas banget ngeliat aku dihakimi atas sesuatu yang nggak aku lakukan?"

Kening Vic mengerut, "kita nggak ngehakimin elo, Fath. Tadi itu cuma—"

"Apa? Memojokan? Menyudutkan? Mau bikin aku merasa bersalah!?" Nada bicara Fathia meninggi dan gerak tubuhnya semakin menantang.

"Lo kenapa, sih, Fath? Apa nggak bisa kita bicara baik-baik? Apa image gue di kepala lo emang seburuk itu?"

Fathia mendengkus. "Bisa-bisanya kamu nanya, Vic. Kamu mau kupandang dengan image kayak apa? Seorang sosialita terhormat? Wanita karir dengan segudang prestasi?"

"No! Bukan image kayak gitu yang gue harap ada di kepala lo!"

"Terus apa?"

Vic menelan ludahnya. Kepalanya mendadak kosong begitu berhadapan dengan Fathia.

Suara di dalam hatinya menyuruh—bahkan memohon dengan amat sangat—agar dia keluar dari sana. Tidak ada gunanya membuang waktu dan tenaga di tempat itu. Bahkan firasatnya mengatakan, sedikit saja dia menunda untuk pergi, semakin dia akan melukai dirinya sendiri.

Namun kedua kakinya seolah lumpuh. Jangankan untuk pergi. Sekadar berbalik pun dia tidak bisa.

Vic ingin melawan.

Dia ingin membuktikan bahwa niatnya tidak pernah seburuk apa yang lawan bicaranya pikirkan.

Dia bukan orang yang Fathia kira.

Dia, Victoria, adalah seorang yang ....

"Sejak kamu dateng ke sini, semuanya hancur berantakan, Vic," desis Fathia dengan nada tajam dan menghunjam. Ucapannya menghentikan keraguan Vic. "Kamu ngebuat Ganesa ribut sama keluarganya demi ngebela perempuan seperti kamu. Karena kamu juga pertemanan Ganesa, Robyn, dan Fabian berantakan. Bahkan sekarang ... bisa-bisanya dengan status kamu yang kayak gitu ... kamu ngedeketin Fabian. Apa kamu nggak malu? Masih punya malu kan kamu, Vic?"

"Bukan hanya itu," sambung Fathia yang mulai kehabisan napas. Dia mengusap air matanya dengan kasar. "Aku merintis karirku dari nol, membangun nama baik dengan susah payah, dan kamu seenaknya niru semua yang aku punya. Buat aku untuk bisa sampai di sini itu sebuah perjuangan, Vic. Modalku besar untuk bisa dapetin semua ini—sementara kamu cuma perlu mengumbar aurat dan puluhan ribu pria bersedia membuang uang mereka demi kamu."

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang