55| Apology and Explanation

5K 417 76
                                    

Robyn literally jumped out of the car when he arrived at the clinic.

Kemacetan adalah hal yang menyebalkan. Kemacetan di tengah jalanan ibu kota yang terbebas dari aturan ganjil-genap dan sedang dalam pembatasan jumlah pekerja kantoran adalah gila!

Berapa jam yang sudah dia habiskan di jalan raya setelah berhasil meninggalkan ruas jalan tol yang berbaris tak bergerak?

Robyn ingat baterai ponselnya semula 40% dan dengan segala usahanya menghubungi Vic, kini baterainya sudah mencapai 5%. Selama itulah dia bertahan di tengah kemacetan. Sudahlah!

Setidaknya dia sudah menyampaikan pada Nona—perawat yang berjaga shift pagi—agar menyuruh Vic menunggu hingga dia datang. Begitu dia menemui Vic, dia tidak akan butuh baterai ponsel. Dia hanya perlu menjelaskan kenapa dia tidak dapat dihubungi dan mengapa dia tidak cerita mengenai kondisi ibunya dan ... oh, shit! She's gonna be mad. Super mad. And only god knows what will happen to him for the next couple of hours.

Diteriaki, dia siap.

Diceramahi panjang lebar, siap.

Asalkan Vic tidak menolak bicara padanya, apapun bentuk pelampiasan kekesalan akan dia terima. Prioritasnya saat ini adalah menemui Vic dan—"Abey?"

Dua pasang mata melirik bersamaan. Sepasang menatap dengan mata tertutup faceshield berembun. Yang lain menatap dengan sinar mata mengilat dan pancaran rindu yang tidak terbendung.

Langkah kaki Robyn hanya sampai di ambang pintu, tidak bisa meneruskan. Bahkan ketika pemilik nama yang dipanggilnya itu berlari mengamburkan pelukan padanya, Robyn mematung di sana.

"Robyn, I'm sorry!"

Dengan tinggi mereka saat ini—yang Robyn yakini akibat heels yang wanita itu kenakan—Robyn bisa merasakan halus rambut berwarna dirty blonde hingga sebatas hidungnya. Semerbak harum perpaduan citrus dan floral segar itu menyerang indera penghidunya. Wangi yang dikenalinya dan tidak bisa dia lupakan. 

Hanya dengan helai baju tipis yang dia kenakan, Robyn bisa merasakan gerak kedua tangan Abey melingkari lehernya lalu mengerat seolah tidak ingin melepaskan barang sedetik pun. Tubuh tegap Robyn pun condong, mengikuti arah tarikan, dan tangannya refleks membalas pelukan itu.

Demi menjaga keseimbangan, belanya dalam hati. Membenarkan tindakan di luar kendali itu.

Hati kecilnya berteriak melawan. Robyn bersumpah dia tidak menyuruh tangannya untuk bergerak atau membalas pelukan itu atau sampai mengusap punggung dalam dekapannya. Namun, semakin dia berusaha melepaskan diri, semakin dia enggan.

Masih dalam keadaan bingung dan terkejut, mata Robyn kesulitan mencari fokus. Pikirannya mendadak kosong.

Apa yang sebelumnya ingin dia lakukan di klinik?

Kenapa tiba-tiba Robyn merasa seperti orang bodoh. Seperti disihir menjadi batu.

"You're ... here."

Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Robyn setelah Abey melepaskan pelukannya.

Mereka saling pandang.

Saling menatap pantulan diri masing-masing pada sepasang manik mata. Seperti yang dulu mereka lakukan.

"You're here." Seperti orang gila, Robyn tidak lagi mengerti tentang dirinya. Apa yang dia ucapkan berbeda dengan apa yang dia pikirkan. Atau yang dia perbuat. Seolah-olah semua anggota tubuhnya bergerak dikendalikan oleh orang berbeda.

Abey melepaskan maskernya. Memperlihatkan wajahnya yang tidak berubah. Masih dengan warna riasan yang sama. Potongan rambut yang sama. Bahkan senyumnya pun masih sama.

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang