25| Small Talk in A Car

8K 609 75
                                    

Fabian baru saja duduk di kursi pengemudi ketika Vic selesai mengetik di ponselnya. Sibuk membalas pesan dari beberapa orang temannya yang menanyakan kabar serta dari grup penghuni kos.

Benda pipih itu langsung menghilang ke dalam tas, membuat fokus Vic kini tertuju pada pria di sampingnya.

Jam sudah menunjukan pukul tujuh dan hujan sudah sedikit mereda hingga mereka memutuskan untuk pulang.

"Mike sama Robyn bilang stok mie instant sama camilan udah habis. Kalo mampir ke supermarket masih keburu nggak?"

"Nggak akan keburu. Supermarket tutup lebih awal. Mau besok?"

"Boleh. Jam sepuluh? Gue ada live pagi soalnya."

"Oke, jam sepuluh."

Setelah menyelipkan beberapa kertas ke sela sun visor, Fabian memastikan, "pulang sekarang?"

"Sebelum pulang, jawab dulu pertanyaan gue. Kenapa gue nggak boleh bayar apa yang gue makan?"

Pria itu terdiam sesaat. Mencoba mencerna apa yang baru saja dibicarakan Vic lalu, alih-alih mejawab, dia mencondongkan tubuh untuk menarik sabuk pengaman.

"Karena saya memang berniat traktir kamu," ujarnya sesaat sebelum bunyi 'klik'. "Lagian makanan yang tadi kita makan nggak ada di menu—"

"Jadi, itu spesial buat gue?" goda Vic sambil menggigit bibir bawahnya. Jaraknya dengan Fabian begitu dekat hingga dia bisa mencium campuran aroma parfum yang mulai memudar dan aroma asap. Bukan sesuatu yang mengganggu. Karena Vic tahu seharian ini Fabian berada di dapur, menyiapkan makanan yang membuat Vic seperti sedang jalan-jalan ke Eropa.

Menu yang Fabian hidangkan memang tergolong camilan. Apalagi untuk Vic, kalau belum makan berat berupa seporsi nasi—ya, harus seporsi nasi—tentu saja belum terhitung makan.

Menu pertama namanya arancini. Aslinya, resep itu terbuat dari risotto yang dibuat menjadi bola-bola lalu di-deep fried setelah dilapisi tepung roti. Namun, Fabian bereksperimen dengan menggunakan nasi ayam. Katanya resep turun temurun dari neneknya.

Lalu untuk teman ngopi, Fabian membuat bruschetta untuk camilan umami, sementara camilan manis ada tiramisu dalam gelas kecil. Bukan tipikal sepotong kue tiramisu seperti di toko kue pada umumnya, kali ini Fabian menyajikannya dalam cup kecil.

Aksen ungu dan emas pada setiap hidangan membuat acara ngopi ini begitu personal.

"Iya, untuk kamu."

Mereka bertatapan dan tidak ada sepatah kata pun terucap.

"Ini juga?"

Kelima jari Vic bergerak dalam genggaman Fabian. Ujung buku jarinya mengusap telapak tangan pria itu. Merasakan titik-titik yang mengeras akibat aktivitasnya.

"Mungkin," jawab Fabian dengan seulas senyum.

Jarak di antara mereka perlahan menghilang.

Tatapan mereka sudah tidak lagi saling bertemu—Vic tidak bisa berpaling dari pemandangan bibir tipis di hadapannya.

I wonder if it tastes like the coffee he drank earlier ... batin Vic. 

"Satu pertanyaan lagi," potong Vic dengan satu jari membatasi jarak antara bibirnya dan Fabian. Matanya mengerling menatap sepasang mata yang tertutup lensa. "I heard rumors."

"Spesifiknya, rumor di tempat kos atau yang baru kamu dengar tadi waktu saya nggak ada?"

Vic ingin tertawa.

Rupanya Fabian tahu bahwa stafnya—Abas dan pelukis eksentrik yang bersifat begitu skeptis pada Vic—sudah banyak cerita dalam durasi kurang dari 15 menit. Dua pria itu benar-benar memanfaatkan waktu singkat mereka saat Fabian sibuk di ruangannya.

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang