20| He Was Never Part of His Life

9.4K 572 30
                                    

"Mau ke mana?" tanya suara serak yang terdengar berat ketika Vic melepaskan pelukan yang melingkari tubuhnya.

Dengan tangan memegangi perut bagian bawahnya, Vic mengeluh, "perut gue sakit, nih."

Robyn mengusap matanya dan mengedarkan pandangan. Dengan mata yang nyaris menutup pria menunjuk ke tembok. "Obatnya gue taro di meja, minum satu. Pake air putih, jangan kopi."

Vic memutar matanya. Segila-gilanya dia terhadap kopi, tidak pernah dia berpikir untuk mengonsumsi obat dengan kopi.

Robyn menguap lalu meringkuk dengan sebuah boneka yang Vic berikan sebagai pengganti dirinya. Setelah menutupi tubuh pria itu dengan selimut Vic mengecup pipinya. "I'll be right back."

"Yeah, you should."

Dengan satu butir obat di tangan, Vic keluar kamar dan menguncinya. Tidak ingin ada orang lain masuk tanpa seizinnya dan memergoki Robyn sedang tidur nyenyak.

Vic menunduk menatap ponselnya. Dia mencoba tidur, tapi bunyi getaran ponselnya yang tidak kunjung berhenti membuatnya terjaga. Dan semua pesan yang masuk kini membuatnya sakit kepala.

"Brengsek," desis Vic sambil menghapus setiap pesan dari nomor yang tidak dikenal. Menjadikan layar ponselnya bersih dari notifikasi.

Setelah mengubah mode ponsel menjadi silent, Vic berjalan ke dapur.

"Can't sleep?" sapa Jacob yang sedang duduk seorang diri sambil menatap sebuah kaleng. Mata sayunya memperhatikan wanita yang kini berjalan menuju dispenser dan menelan sebutir obat. "Rough night, huh?"

Tangan Vic refleks memegangi lehernya saat melihat Jacob menunjuk leher dengan sebuah kerlingan mata. Dia buru-buru melepaskan ikat rambutnya, membiarkan helai rambut menutupi leher, dan merapatkan cardigan yang dia kenakan.

"Tadi pagi kena catokan."

"Hmm," goda Jacob. "Catokannya pasti sangat panjang, panas, dan keras."

"I'm on period."

"Di luar sana banyak orang dengan fetish yang unik." Jacob menghabiskan sisa bir dalam kaleng yang dipegangnya, menyingkirkan, lalu membuka kaleng baru. Dia menyodorkan kaleng tersebut untuk Vic, tapi ditolak.

"You used to be fun to hang out with, y'know?"

"It was fun," aku Vic yang memilih menghabiskan air minumnya. "Tapi cuma sementara dan begitu gue bangun—Poof!—reality hit me. It took everything in my life just for one temporary fun night. And, by the way, I just had my meds."

Bibir Jacob mengerucut. "Don't scare me, Hon. You terdengar seperti orang yang divonis akan mati besok."

Tawa renyah Vic membahana di keheningan malam.

Sambil menggerakan kaleng bir, Jacob terdiam menatap apa yang ada di depannya. Sebuah wadah buah dengan dua pisang di atasnya. Pria itu memiringkan kepalanya lalu melirik pada Vic yang sibuk dengan ponselnya.

"Robyn treats you well?"

Wanita itu mengangguk pelan.

"Dia tau Fabian ngajak you nge-date?"

Walau sedang tidak minum, Vic tersedak. Dia menutupi mulutnya saat batuk. "What date?"

Jacob mendengkus. "Jangan mengelak, Hon. Me ada di sana ..." Jacob menunjuk ke arah pintu "... waktu Fabian bilang 'kabarin aja kapan bisanya'."

Dengan wajah memerah Vic menggumam, "coffee."

"Of course!" seloroh Jacob sambil mengentakan kaleng di meja. "You selalu mengelak dan beralasan tidak mengharapkan apa-apa dari Fabian. You only want his coffee. Yeah, sure."

When He Text You After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang