part 5

1K 138 38
                                    

Seokjin berjalan lesu di koridor sekolah, tubuhnya terasa lemas dan pusing. Ia sudah ditawarkan untuk pulang bersama Yoongi dan Hobi. Namun Seokjin menolak dengan alasan tidak mau merepotkan karena apartemen dan rumah mereka berbeda arah.

Alhasil ia berjalan sendiri.

Pandangan didepannya memburam, kakinya sudah lemas. Punggung itu terasa semakin perih apalagi saat keringatnya terkena luka cambuk kemarin malam.

Seokjin oleng, ia hampir tergeletak ke belakang jika tidak ditahan oleh seseorang.

"Hei! Jangan pingsan!!"

Seokjin mengerjap pelan, ia mencoba bangun dan bersender di tembok kelas.

Namjoon, ialah seseorang itu.

"Kau sakit?"

"Tidak. Hanya pusing."

"Itu namanya sakit bodoh!"

Tidak disangka Namjoon berjongkok dihadapannya.

"Cepat naik," titah Namjoon.

Ia malah terdiam heran.

"Tidak, aku baik-baik saja."

Namjoon kesal, ia pun menarik kedua tangan Seokjin dan mengalungkannya pada pundak besar itu. Mengangkat tubuh kurusnya. Seokjin tidak menolak, karena ia terlampau lemas.

"Jika memang kau baik, cobalah turun sendiri."

Seokjin mencoba melepas genggaman Namjoon, namun tidak berhasil.

"Biar kuantar. Sebagai ucapan maaf sekaligus terimakasih."

"Kau betul-betul tau caranya balas budi."

Mereka pun berjalan, Seokjin meninggalkan kendaraan mobilnya di sekolah dan pulang bersama Jungkook.

Sepanjang jalan, ia bersandar dengan mata setengah terbuka. Mencoba tetap sadar untuk menunjukan arah ke apartemennya.

"Kau orang kaya ya?," tanya Namjoon kala melihat betapa besarnya gedung apartemen milik Seokjin.

"Orang tuaku yang kaya."

Seokjin keluar lebih dulu. Niat hati ingin berterimakasih namun malah bersender di pintu mobil dengan nafas memburu.

"Aku bantu masuk kedalam."

Seokjin tidak menolak. Ia berserah kala tangannya dirangkul oleh Namjoon.

Mereka sampai dengan menggunakan lift, untungnya apartemen Seokjin letaknya strategis dan tidak perlu berjalan jauh.

Setelah memasukkan kata sandi, Namjoon membawanya duduk bersandar dikasur, melepas sepatu dan kaus kakinya. Ia bisa melihat betapa terseiksanya Seokjin saat merasakan nafas nya yang berat dan panas.

Ia pun berinisiatif mengambil minum.

"Terimakasih."

"Hm.. ya sama-sama."

Namjoon memandangi seluruh penjuru apartemen dengan mata takjub, pasalnya kamar ini luas dan rapi. Berbeda dengan kamarnya yang berantakkan.

Namun satu hal yang tidak ia mengerti. Tidak ada satupun foto keluarga disana.

"Kau tinggal sendiri?"

Seokjin mengangguk dengan mata tertutup.

"Menyenangkan pasti tidak perlu mendengar ocehan orang tua yang berisik 24 jam."

Seokhin terkekeh "Bukankah menyenangkan berada di suasana keluarga yang ramai?."

"Senang sih tapi kan kalau punya ibu tiri cerewet jadi malas."

Drrrt drrrtt

Dering suara ponsel milik Namjoon terdengar. Ia langsung mengangkatnya.

"Iya, aku akan segera pulang.... aish ya aku tidak akan makan diluar."

Tut

"Bawel sekali," lanjut Namjoon kesal.

"Sepertinya ibu tirimu begitu penyayang."

Bukannya menjawab ia malah memutar bola matanya malas.

"Kau beruntung memiliki ibu yang perhatian dan menyayangimu padahal kalian tidak sedarah."

"Iya sih. Tapi aku rindu dengan eomma ku."

"Kemana memangnya eomma kandungmu?."

"Ke kuburan."

"Jadi penjaga kuburan?"

"Meninggal bodoh!!"

Namjoon kesal ia melempar bantal tepat di wajah Seokjin.

"Hehe aku becanda."









Selepas perginya Namjoon, Seokjin kembali dihadapkan dengan suasana sunyi tempat ini. Syukur tubuhnya terasa lebih baik hanya menyisakan rasa pusing sedikit.

Seokjin sudah membersihkan tubuhnya, mengganti pakaian seragam dengan baju rumah biasa. Kaus putih polis dengan celana training panjang.

Suasana dingin ini yang ia suka apalagi dengan sebatang rokok diantara kedua jarinya. Ia menghembus asap beracun itu keluar jendela.

"Ukhukk.."

Seokjin terbatuk. Ia memukul dadanya yang tidak nyaman dengan pelan.

"Aish baru juga sebatang."

Terpaksa ia membuang rokok yang masih panjang itu ke asbak. Tidak lupa menekan ujung apinya agar tidak menimbulkan api.

Telponnya berdering.

Dengan malas ia beranjal dan mengambil ponselnya diatas nakas.

"Yoboseo?"

Seokjin tersenyum bahagia.

'Seokjin apa aku perlu pulang?'

"Tidak perlu. Kau disana saja, aku nyaman sendirian."

'Kau yakin?'

"Hmm.. jangan khawatirkan aku."

Mati-matian ia menahan isak tangisnya dan hanya mengeluarkan setetes air.

'Seokjin-ah?'

"Wae?"

'Maafkan aku.'

Tut

Seokjin langsung mematikan ponselnya. Ia duduk bersandar sambil memeluk kedua lututnya. Menyembunyikan wajah memerah dan air mata.






To be continued...

PainfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang