5.

12.5K 862 4
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
_______________________________________

Semilir angin berembus kencang menerpa wajah kedua insan yang sedang duduk di taman ujung kota. Canda dan tawa menyelimuti keduanya. Mereka benar-benar menikmati saat-saat seperti ini.

Perlahan, tangan Aksa terulur untuk menyelipkan anak rambut Cia yang terkena sapuan angin ke telinga gadis itu. "Nah, kalau kayak gini kecantikan kamu jadi nggak ketutup, Cia. Heran deh, habis pulang dari luar negeri kok tambah cantik?" goda Aksa.

"Iyain aja, kasian!" ujar Cia.

"Hahaha!" Seketika tawa Aksa pecah. Cia memang sudah mengenal betul Aksa, ia tidak pernah menganggap setiap kata-kata yang keluar dari mulut Aksa adalah sebuah keseriusan.

"Aksa." Cia memanggil Aksa dengan suara yang amat sangat kecil, lebih tepatnya sama seperti bisikan.

"Kenapa, hm?"

Dia pun menyenderkan kepalanya di bahu Aksa. "Kita bakal selamanya jadi sahabat, kan? Kamu nggak akan pernah ninggalin aku, kan?"

Aksa melengkungkan bibirnya membentuk senyuman, ia mengacak-acak rambut Cia dengan gemas, namun cowok itu sama sekali tak menjawab pertanyaan dari Cia.

"Kok diem aja?" Cia menatap Aksa tajam.

"Aku nggak mau janji, Cia. Aku takut nggak bisa menuhin janji itu. Yang terpenting sekarang, kita selalu bersama sebagai sahabat." Aksa berucap penuh kelembutan, tatapan teduh ia layangkan pada Cia yang juga sedang menatapnya.

Aksa dan Cia memang sudah bersahabat sejak mereka masih kecil, oleh karenanya mereka terlihat begitu dekat.

Tapi gimana kalau aku cinta sama kamu, Aksa? Apa nanti kalau kamu udah tau yang sebenernya, kamu akan menjauh dari aku? Ingin sekali rasanya Cia melontarkan pertanyaan itu kepada Aksa. Tetapi sayangnya, suara Cia seakan tercekat di tenggorokan dan tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ketika Cia masih hanyut dalam pikirannya sendiri, tanpa sengaja Aksa melihat Luna sedang berjalan di trotoar bersama seorang anak kecil.

Melihat Luna, ia jadi teringat kesalahannya saat di sekolah tadi pagi. Oke, Aksa harus bisa mendapatkan maaf dari Luna sekarang juga.

Cowok itu melangkahkan kakinya menuju ke arah Luna dan anak kecil tersebut. Dia lupa kalau Cia ditinggal sendiri di bangku taman.

"Luna!" teriak Aksa, ia berlari menghampiri gadis itu.

Mendengar namanya dipanggil, sontak Luna menoleh.

Matanya membulat sempurna tatkala mengetahui yang memanggilnya itu Aksa. Tentu, Luna masih sangat kesal karena Aksa dengan beraninya menjelek-jelekkan bundanya tanpa sebab.

"Ayo jalannya yang cepet, Olive!" titah Luna, membuat langkah kaki bocah kecil yang berada di sampingnya menjadi semakin cepat.

"Iya, Kak," jawab Olive.

"Luna, tunggu!!!" Aksa berhasil meraih tangan Luna, namun segera ditepis kasar oleh gadis itu.

"Mau apa lagi kamu? Belum puas jelek-jelekin aku sama bunda?" Dari sorot matanya, Aksa bisa melihat jelas kemarahan Luna yang membuncah akibat perbuatannya.

"Maafin gue, Lun. Gue nggak ada maksud apa-apa. Sebenernya ...."

"Sebenernya apa?! Aku nggak suka kamu jelek-jelekin almarhumah bunda!" Napas Luna naik-turun, mata beningnya berkilat merah, dan emosinya sudah menguap sampai ke ubun-ubun.

"Maaf," lirih Aksa.

Luna tersenyum getir. "Udahlah lupain aja!" Ia menggenggam tangan kanan adiknya, lalu berjalan menjauh dari Aksa karena tidak ingin memperpanjang masalah.

AKSAFA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang