10.

11.6K 856 49
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
________________________________________

Sehari setelah menikah, Aksa dan Cia memutuskan untuk tinggal di rumah baru mereka. Tentu, karena Aksa merasa tidak nyaman tinggal di rumah mertuanya.

Cia terus saja memeluk tubuh Rihana sangat erat, seakan tak mau lepas dari tubuh wanita paruh baya itu.

"Bunda, Cia bakalan kangen sama Bunda," ucap Cia dengan suara bergetar.

Rihana melepas pelukan Cia, ia menangkup kedua sisi pipi putrinya. "Bunda juga, tapi sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, Nak. Kamu harus ingat, patuhi semua perkataan suamimu, jadilah istri yang sholehah," pesan Rihana.

Cia mengangguk patah-patah. Walaupun begitu air mata masih berani membasahi pipinya.

"Jangan nangis, Bunda sama Ayah ngelakuin semua ini demi kamu. Perjodohan ini terjadi pun agar tali persaudaraan antar dua keluarga menjadi semakin erat." Rihana mengusap air mata Cia lembut.

Adit mendekat ke arah Cia, ia mengelus puncak kepala gadis itu. "Jaga suamimu baik-baik, jangan sampai ada orang ketiga yang bisa merusak rumah tanggamu."

"Iya, Yah."

"Kalau gitu kami pamit dulu ya, Ayah, Bunda," ujar Aksa yang sejak tadi diam.

Ia mencium tangan Rihana dan Adit. Setelahnya, membantu Cia membawa koper besar milik gadis itu ke dalam bagasi mobil.

"Hati-hati di jalan," tutur Rihana.

Aksa dan Cia sama-sama mengangguk, lalu mereka segera memasuki mobil dan menembus jalanan kota yang penuh dengan pengendara menuju rumah baru mereka.

Saat di dalam mobil, kecanggungan benar-benar terjadi. Sebenarnya, Cia ingin memulai pembicaraan terlebih dahulu seperti biasanya pada Aksa, namun melihat Aksa hanya dia membisu seperti itu membuatnya enggan.

Apakah Aksa belum bisa menerima pernikahan ini? Sebuah pertanyaan yang berhasil memenuhi pikiran Cia, tetapi ia sama sekali tak menemukan jawabannya.

"Kita udah sampai." Nada suara yang terkesan dingin menyeruak di pendengaran Cia. "Turun."

Meskipun ekspresi Aksa datar, Cia tetap mengembangkan senyum manisnya. Tidak apa, ini masih awal. Cia akan berusaha membuat Aksa menerima dirinya.

Mata Cia membulat sempurna ketika melihat betapa besar dan cantik rumah barunya itu. Dan dapur, dapurnya begitu luas, Cia bisa memasak sesuka hati di sana. Ia memang hobi sekali memasak.

"Ini beneran rumah baru kita, Aksa?" tanya Cia, namun Aksa hanya menanggapinya dengan dehaman lalu pergi meninggalkan Cia sendiri di dapur.

Tak berselang lama, ponsel Cia berbunyi menandakan ada panggilan masuk, cepat-cepat Cia mengangkat teleponnya ketika melihat siapa yang menelepon tersebut.

"Cia, apa kamu sama Aksa udah sampai di rumah baru kalian?" tanya Queen dari seberang sana.

"Iya, Ma. Baru aja sampai."

"Apa Aksa bersikap baik sama kamu?" Pertanyaan Queen sontak membuat lidah Cia terasa kelu. Ia terdiam, matanya menerawang jauh ke dalam pikirannya sendiri.

"Cia, kamu kenapa?"

Cia mengerjapkan matanya beberapa kali, ia mencoba mengembangkan senyumnya meskipun ia tahu Queen tidak akan bisa melihatnya tersenyum. "Iya, Ma. Aksa bersikap baik kok sama Cia. Mama tenang aja."

Terdengar helaan napas lega dari Queen. "Alhamdulillah."

"Mm ... Ma, Cia tutup dulu ya teleponnya," ujar Cia.

"Iya, jaga kesehatan. Mama titip salam buat Aksa."

"Ya, Ma. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah itu, Cia memutus sambungan teleponnya secara sepihak.

°°°°°°

Suasana makan malam terasa sangat berbeda. Keheningan selalu menyelimuti keduanya. Di ruang makan tersebut, hanya suara dentingan sendok yang terdengar.

Sejak mereka pindah ke rumah baru, Aksa jarang berbicara. Ekspresi wajah lelaki itu sangat datar. Inilah yang ditakutkan Cia, Aksa berubah. Tak ada lagi Aksa yang banyak bicara serta peduli dengannya seperti dulu.

"Aksa." Cia menatap wajah Aksa secara saksama.

Akan tetapi, Aksa tak menggubris panggilan Cia. Dia tetap fokus pada makanannya.

"Aksa." Untuk kedua kalinya Cia memberanikan diri memanggil Aksa, berharap lelaki yang sekarang menyandang sebagai suaminya itu mau sekadar menjawab 'iya'.

"Aksa, kamu ...."

"Bisa nggak si lo jangan ganggu gue?!" bentak Aksa.

Bukan, bukan ini kata-kata yang diharapkan Cia keluar dari mulut Aksa.

"A--aku cuma ...."

Seketika Cia tersentak tatkala mendengar sendok jatuh ke piring. Perlahan, ia menatap Aksa yang kini sedang menatapnya tajam.

"Ck! Daripada di sini, mendingan gue jalan sama Luna!"

"Luna? Ada hubungan apa kamu sama Luna?"

"Dia pacar gue!" tegas Aksa.

Mendengar penuturan Aksa tadi, hati Cia seakan tertusuk belati yang sangat tajam, menimbulkan banyak luka yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Berbekas dan tak bisa menghilang.

"Tapi aku ini istri kamu, Aksa!"

Aksa tersenyum sinis, ia semakin mendekat ke arah Cia. "Istri? Gue nggak akan pernah nganggep lo sebagai istri gue, karena gue cintanya sama Luna bukan sama lo. Lo bagaikan benalu yang muncul di antara hubungan kami berdua!!!"

Setelah mengatakan itu, Aksa pergi keluar rumah. Ia tak peduli dengan Cia yang tengah menatap nanar kepergiannya dengan air mata berlinang.

 Ia tak peduli dengan Cia yang tengah menatap nanar kepergiannya dengan air mata berlinang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AKSAFA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang