7.

9.6K 739 20
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
_______________________________________

Luna berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa ketika melihat neneknya datang ke rumah. "Nenek!"

Vida yang tadinya sedang berbincang dengan Rangga--putranya di ruang tamu menjadi menoleh ke sumber suara, ia mengembuskan napas kasar, wajah wanita itu seketika berubah menjadi masam.

Namun, perubahan wajah Vida tak membuat senyum di wajah Luna luntur, ia dengan semangat menghampiri neneknya, lalu mengulurkan tangan karena ingin mencium punggung tangan Vida.

Vida membuang muka, tak berminat menatap wajah sang cucu, pun menepis kasar tangan gadis itu.

"Mama! Luna hanya ingin mencium tangan Mama," ucap Rangga pada Vida. Rangga sangat tahu kalau mamanya sangat tidak menyukai Luna ataupun Olive, karena mereka berdua adalah anak dari Elina.

Dulu, Vida menentang keras pernikahan Rangga dan Elina, dia tidak mau jikalau putra satu-satunya harus menikah dengan wanita cacat seperti Elina. Tetapi apa dikata, Rangga mencintai Elina, ia bisa menerima semua kekurangan wanita itu.

"Jauhkan anak ini dari Mama, Rangga!" tegas Vida, sorot matanya menatap tak suka ke arah Luna yang sedang tertunduk kaku di tempat.

"Dia cucu Mama."

"Tidak!!! Mama tidak mempunyai cucu dari wanita cacat itu!" Napas Vida menggebu, ia benar-benar membenci Elina walaupun kini Elina telah tiada. Mau bagaimanapun, Elina adalah penyebab Rangga menentangnya.

"Pergi kamu dari hadapan saya! Pergi!"

Mendengar Vida mengusirnya, Luna segera berlari keluar rumah dengan berderai air mata. Ia tidak peduli walau hari sudah malam.

"Luna! Luna!" teriak Rangga, namun Luna sama sekali tak menggubris teriakan ayahnya.

Entahlah Luna ingin ke mana, yang terpenting sekarang ia bisa menenangkan diri terlebih dahulu.

Luna kira, Vida sudah bisa menerimanya, tetapi pada kenyataannya, Vida malah semakin membencinya.

Langkah kaki Luna berhenti di trotoar jalan yang rusak, jalanan itu memang sepi, jadi Luna bisa meluapkan semua kesedihannya di sana.

"Kenapa nenek nggak pernah sayang sama aku? Kenapa ...?" Luna terisak, ia menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya.

Tiba-tiba seseorang menutupi tubuh Luna dengan jaket agar tubuh gadis itu tidak kedinginan. Tentu saja, Luna terkejut, ia segera menoleh dan melihat siapa pemilik jaket ini.

"A--Aksa?"

Aksa tersenyum tipis. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung duduk di samping Luna.

Melihat Aksa berada di sampingnya, cepat-cepat Luna mengusap air matanya. Semua pergerakan Luna tak pernah lepas dari perhatian Aksa, cowok itu menatap intens ke arah Luna.

"Lo kenapa, Lun?" tanya Aksa.

Luna menggeleng. "Aku nggak papa, ngapain kamu di sini?" Nada suara Luna terdengar dingin dan datar.

"Emangnya nggak boleh? Ini kan tempat umum, semua orang juga bisa ke sini." Aksa terkekeh kecil. Sebenarnya, Aksa tidak tahu kalau gadis yang menangis tadi Luna, ia memberhentikan motornya dan berniat memberikan jaket yang ia pakai agar gadis itu tak kedinginan.

Hening, tak ada pembicaraan di antara keduanya. Aksa tidak tahu apa masalah yang menimpa Luna. Jujur saja, Aksa penasaran, tetapi melihat Luna yang terlihat begitu sedih, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.

AKSAFA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang