Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
_______________________________________Luna benar-benar merasa senang ketika ia diajak jalan oleh Aksa--pacarnya. Kemarin, cowok itu tidak ada kabar, dihubungi pun tidak bisa. Luna sudah mencoba berkali-kali menelepon, namun sepertinya ponsel Aksa dimatikan.
Dengan tergesa-gesa, Luna menuruni anak tangga satu per satu, tangannya memegang selusur tangga untuk menjaga keseimbangan. Ia ingin ke dapur--mengambil minum karena merasa sangat haus.
Langkahnya seketika terhenti tatkala melihat seorang wanita cantik tengah duduk di ruang tamu, dengan ayah dan neneknya yang berada di samping wanita itu. Siapakah dia?
Perlahan, Luna mendekat. Keningnya berkerut samar, alisnya saling bertaut, menandakan kebingungan sedang melandanya.
Bukan hanya Luna yang merasa bingung, wanita itu juga terlihat bingung hingga akhirnya berucap, "Siapa dia?"
Sontak, Rangga dan Vida sama-sama menoleh mengikuti arah pandang Aira.
"Aku ...." Belum sempat Luna melanjutkan kata-katanya, Vida--neneknya sudah memotong kata-katanya terlebih dahulu.
"Dia anak pembantu," ucap Vida tiba-tiba.
Rangga menatap Vida. "Ma, dia ...."
"Diam!"
Dia anakku, bukan anak pembantu. Ingin sekali rasanya Rangga berucap seperti itu, akan tetapi lidahnya terlalu kelu. Ia sudah berjanji kepada Vida bahwa ia tidak akan membantah semua ucapan atau keputusan mamanya lagi.
Sementara Luna, gadis itu mematung di tempat dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Jika saja ia berkedip, maka air mata akan luruh membasahi pipinya.
Tega sekali neneknya itu mengatakan hal di luar dugaannya. Jadi, selama ini Vida hanya menganggap Luna sebagai anak pembantu bukan cucunya?
"Ngapain kamu berdiri di situ? Pergi sana!" ujar Vida penuh penekanan.
Luna membalikkan badan, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya. Pandangan Luna semakin memburam ketika air mata sudah penuh di pelupuk matanya, hingga akhirnya air mata itu luruh membasahi pipi gadis itu.
Bunda, Luna kangen sama Bunda. Lihatlah, Bunda. Nenek tega menganggap Luna sebagai anak pembantu bukan cucunya. Dan ayah, dia sama sekali nggak membela Luna. Luna sendirian di sini, Luna sendirian, ucap Luna dalam hati.
°°°°°°
Telepon Luna berdering dengan sangat nyaring, namun sang pemiliknya tak ada niatan untuk menjawab. Gadis itu tengah duduk di sisi ranjang sembari menelungkupkan kepala di antara kedua lututnya.
Untung saja, Olive--adiknya sudah tidur terlebih dahulu, jadi ia tidak mendengar kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Vida.
Ketika Luna sudah merasa agak tenang, ia pun mengambil ponselnya yang berada di nakas meja, lalu melihat siapa yang meneleponnya berulang kali.
Sontak matanya langsung membulat sempurna saat melihat nama Aksa tertera di layar ponselnya. Cowok itu sudah menelepon dirinya lebih dari lima puluh kali.
"Aksa?" gumam Luna. Ah iya, Luna lupa kalau ia ingin keluar dengan Aksa malam ini.
Dengan cepat, Luna menelepon Aksa. Ia harap, Aksa tidak marah.
"Halo, Aksa," ucap Luna kala Aksa mengangkat teleponnya.
"Luna, lo ke mana aja? Kenapa pas gue telepon nggak diangkat-angkat? Apa terjadi sesuatu sama lo? Lo baik-baik aja, kan?" Rentetan pertanyaan dari Aksa ditujukan hanya kepada Luna, membuat sang pemilik nama tertawa kecil mendengar semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSAFA (End)
Teen FictionTentang cinta yang tak semestinya mendera hidup kita. -AKSAFA °°°°°° Perjodohan, satu kata yang amat sangat dibenci oleh Aksafa Daniel Adijaya. Hidupnya terasa dikekang dan tak ada jalan keluar untuk lari dari perjodohan tersebut. Rasa sayangnya seb...