36.

12.1K 1K 207
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar. Terima kasih.
_______________________________________

Seorang lelaki paruh baya menghampiri mereka berempat. Sontak Aksa, Satya, Gio, dan Cesario langsung menghentikan langkah kaki mereka, lalu menoleh ke arah orang itu.

"Maaf, di sini bukan tempat sunat masal, jadi sepertinya kalian salah tempat," ujarnya.

Satya maju beberapa langkah untuk menanggapi ucapan tersebut. "Siapa bilang kami mau sunat masal, Pak?"

"Loh, kalian berempat kan udah pakai sarung, berarti mau ngantri sunat, kan?"

"Jangan salah, Pak. Saya sama temen-temen saya udah sunat waktu kami masih kecil, ya masa mau disunat lagi, nanti pendek dong, Pak," ucap Satya terkesan ambigu.

Gio tertawa keras, ia pun langsung mendekat dan berdiri di samping Satya. "Anjir! Jangan mulai, Sat!"

"Lo ngatain gue bangsat?!" tanya Satya menatap tajam ke arah Gio.

"Ngaca, Bos! Nama lo Satya, jadi gue bisalah manggil lo Sat!"

Seperti biasa, Satya dan Gio mulai berdebat kembali. Mereka memperdebatkan masalah yang tidak penting sama sekali, membuat Aksa dan Cesario sama-sama mengembuskan napas kasar.

"Bisa nggak si kalian berdua diem?" tanya Aksa begitu dingin tetapi mampu membuat kedua insan itu terdiam--membungkam mulut mereka.

Setelah melihat Satya dan Gio sudah diam, Aksa pun mulai membuka suaranya. "Kedatangan kami ke sini karena kami ingin bekerja di sini, Pak."

"Bekerja di sini? Saya nggak salah denger, kan?"

"Oh enggak, Pak. Apa yang Bapak denger tadi itu benar. Atas perintah dari Pak Adit, saya akan bekerja di sini selama tujuh hari," ucap Aksa sembari mengembangkan senyum ramahnya.

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Aksa barusan, orang yang dikenal sebagai Pak Mandor itu merasa tak percaya. Pasalnya, Adit sama sekali belum memberitahu ataupun menghubungi dirinya.

"Bekerja dengan ... ekhem ... memakai sarung?" Pak Mandor langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Dugaannya pasti benar bahwa beberapa orang yang berada di hadapannya ini tidak waras. "Dari rumah sakit jiwa mana kalian?"

"Ha?!" ucap Aksa, Satya, Gio, dan Cesario kompak.

"Kalian berempat pasti pasien rumah sakit jiwa yang kabur ya? Terus ngaku-ngaku disuruh bekerja di sini sama Pak Adit, padahal kenyataannya enggak," ujar Pak Mandor.

Ia langsung mengambil ponsel di saku celananya, lalu menelepon seseorang. Siapa yang ia telepon, Aksa sendiri pun tidak tahu. Hanya saja, perasaannya mulai tidak enak sekarang.

"Halo. Saya ingin memberitahukan bahwa di Jalan Mawar tepat di perumahan yang sedang dibangun, ada pasien rumah sakit jiwa yang kabur."

"Tapi di rumah sakit ini nggak ada pasien yang kabur," ucap perawat di rumah sakit jiwa itu dari seberang sana.

"Saya juga nggak tau mereka dari rumah sakit jiwa mana. Tolong cepat ke sini ya! Saya tunggu. Terima kasih."

Tentu saja, keempat cowok tersebut membulatkan mata sempurna. Bagaimana tidak, Pak Mandor yang berada di hadapannya ini menganggap mereka gila. Yang benar saja!

"Eh, Pak! Kok main telpon RSJ aja si?! Kami berempat ini masih waras! Ngadi-ngadi nih si Bapak," ucap Satya.

Tak lama kemudian, ponsel Pak Mandor pun berbunyi, dan tertera nama 'Pak Adit' di sana. Dengan segera ia menekan tombol hijau tanda menerima panggilan tersebut.

AKSAFA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang