Hari ini Cia memutuskan untuk berangkat sekolah. Seperti biasanya, ia berangkat ke sekolah menaiki angkutan umum. Walaupun terlahir dari keluarga kaya raya, ia tak keberatan dengan hal itu.
Cia tidak merasa gengsi ataupun malu. Toh sama saja, yang terpenting ia bisa sampai ke sekolah dengan selamat.
Sekarang saja ia tinggal di sebuah kontrakan kecil. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari untungnya Cia masih mempunyai banyak tabungan. Ia tidak memberitahukan semua yang terjadi pada kedua orang tuanya karena tidak ingin melihat mereka bersedih.
"Ini, Pak, uangnya." Cia memberikan uang pada supir angkot, lalu berjalan memasuki gedung sekolah.
Bersamaan dengan itu, Aksa datang menggunakan motor sport-nya. Ia menurunkan gas motornya, melirik beberapa detik ke arah Cia, kemudian melajukan kembali motornya menuju parkiran sekolah.
Cia tahu Aksa memperhatikannya tadi, tetapi Cia sama sekali tak peduli. Luka di hatinya masih belum sembuh, dan mungkin tak akan pernah sembuh karena semakin hari luka itu semakin menganga lebar, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa di dalam jiwa.
Saat Cia tengah berjalan di lorong koridor lantai dua, ia merasa ada seseorang yang mencekal tangannya. Akhirnya Cia pun berbalik dan mendapati Aksa. Ya, yang mencekal tangan Cia adalah Aksa.
"Kenapa lo nggak pulang?" tanya Aksa.
Cia menghela napas panjang. "Gue nggak mau tinggal lagi di rumah itu!" tegasnya.
"Kenapa?"
Sumpah demi apa pun, apakah Aksa lupa atas kesalahannya? Kesalahan besar yang telah diperbuatnya? Mengapa Aksa menanyakan sesuatu yang dia sendiri sudah tahu apa jawabannya?
"Lo udah tau jawabannya!" Tak ingin berlama-lama, Cia melepas cekalan tangan Aksa dari tangannya. Membalikkan badan--mulai melangkahkan kaki menuju kelas.
Namun baru beberapa langkah, Aksa mengejar dan mencekal kembali tangannya, membuat Cia mau tidak mau harus menghentikan langkah kakinya kembali.
"Apa lagi si?!" bentak Cia, ia menatap nyalang ke arah Aksa.
"Hari ini lo harus pulang!" titah Aksa tak terbantahkan.
Cia mengembuskan napas kasar. "Apa lo budek, hah?! Udah gue bilang kalau gue nggak mau tinggal lagi di rumah itu, ya berarti gue nggak mau!!!"
"Terserah lo mau ngomong apa, tapi gue mau lo pulang ke rumah!"
"GUE NGGAK MAU!!!"
"Lo harus ma ...."
"Aksa!" Suara seseorang berhasil menghentikan ucapan Aksa. Aksa tahu betul siapa pemilik suara halus itu. Ya, dia Luna. Sontak, Aksa langsung melepas cekalan tangannya dari tangan Cia.
Cia tersenyum pahit, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Urus aja pacar lo yang lagi hamil itu! Kasian, hidupnya hancur gara-gara lo!" Lalu, Cia pun pergi menjauh dari Aksa.
Untuk kali ini Aksa tak mencegahnya. Tentu, ia tidak mau membuat Luna berpikiran yang tidak-tidak. Ia takut Luna akan marah.
"Kamu ngobrolin apa sama Cia? Kok serius banget?" tanya Luna saat sudah berada di hadapan Aksa.
Aksa menggeleng. "Bukan apa-apa. Lo udah makan belum?"
"Aku udah makan, kalau kamu udah makan belum?" tanya balik Luna.
Lagi-lagi Aksa menggeleng. Bagaimana ia bisa makan jika makanan saja tak tersedia di meja makan dan tak ada seseorang yang menyiapkan makanan untuknya?
"Ya udah, sekarang kita kelas! Aku bawa bekal makanan, kamu bisa makan bekal makanan aku di kelas nanti." Aksa hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSAFA (End)
Teen FictionTentang cinta yang tak semestinya mendera hidup kita. -AKSAFA °°°°°° Perjodohan, satu kata yang amat sangat dibenci oleh Aksafa Daniel Adijaya. Hidupnya terasa dikekang dan tak ada jalan keluar untuk lari dari perjodohan tersebut. Rasa sayangnya seb...