26.

15.3K 1.2K 224
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
________________________________________

"Luna, dari mana saja kamu?!" Suara seseorang dari lantai dua rumahnya begitu menggema di pendengaran Luna. Ia pun menoleh ke atas dan mendapati Rangga tengah bersedekap dada sembari memperhatikan gerak-geriknya.

Seketika langkah Luna terhenti, membuat Rangga cepat-cepat menghampiri putri pertamanya itu di lantai bawah.

"Kenapa diem aja? Bilang yang sejujurnya sama Ayah. Kamu dari mana? Jam dua belas malam kok baru pulang? Anak gadis nggak baik berkeliaran malam-malam di luar rumah!" tegas Rangga. Sorot matanya menandakan kemarahan.

"Emm ... tadi Luna ... ha--habis kerja kelompok di rumah Sheila," jawab Luna terputus-putus.

Rangga menyipitkan matanya, merasa tak yakin dengan jawaban putrinya ini. "Apa kamu yakin? Kamu nggak lagi bohongin Ayah, kan?"

Luna terkekeh kecil. "Lu--Luna yakin kok. Ya enggaklah, mana mungkin Luna berani bohongin Ayah."

Terdengar helaan napas panjang dari Rangga sampai akhirnya ia berucap, "Ayah nggak mau liat kamu pulang malam lagi seperti ini! Ingat, kamu itu perempuan, Luna. Di luaran sana bahaya. Ayah nggak mau terjadi sesuatu sama kamu."

"Iya, Yah. Luna akan turutin semua kemauan Ayah."

Beberapa menit kemudian, Rangga langsung memeluk erat tubuh putrinya. Ia mengelus lembut rambut Luna dengan sayang. "Jadilah orang yang baik, Lun. Jangan mudah dendam sama orang lain. Bisa jadi, apa yang kamu liat bukanlah yang sebenernya. Ayah juga nggak mau ngeliat kamu menyesal di kemudian hari karena rasa dendammu itu." Seperti apa yang dialami oleh bundamu dulu, lanjut Rangga dalam hati.

Sontak, kedua mata Luna membulat sempurna. Bagaimana ayahnya bisa tahu jikalau dia mempunyai dendam yang amat sangat besar pada seseorang?

"A--Ayah tau kalau Luna ...." Luna menggantung ucapannya. Ia rasa, ia tidak perlu bertanya. Bisa jadi, apa yang diucapkan Rangga barusan hanya sebuah nasihat saja, tidak lebih.

Rangga mengerutkan keningnya samar, pasalnya Luna tak kunjung melanjutkan ucapannya. "Kenapa, Lun?"

Luna menggelengkan kepalanya. "Nggak, nggak ada apa-apa kok." Seulas senyuman tercetak di bibir gadis itu. "Yah, Luna ke kamar dulu ya. Besok sekolah, Luna harus segera tidur biar nggak kesiangan."

"Iya, good night." Rangga mengecup kening Luna.

"Good night, Ayah."

°°°°°°

Di sepanjang pelajaran pagi ini, Aksa benar-benar tak fokus. Arah pandangnya selalu jatuh pada tempat di mana Cia duduk. Tempat duduk itu kosong, dan sampai sekarang pun ia belum tahu Cia pergi ke mana.

"Aksa! Kamu kenapa melamun?!"

"Karena gue lagi mikirin lo, Cia," jawab Aksa tanpa sadar, membuat seisi kelas berteriak heboh, kecuali Ziad dan Luna.

"KELUAR DARI KELAS SAYA SEKARANG!!!" Suara Bu Nadia terdengar menggelegar, membuat Aksa langsung menoleh ke sumber suara. Spontan, ia bangkit dari duduknya dan menatap wajah sang guru yang terlihat begitu marah.

"Ke--kenapa saya disuruh keluar, Bu?" tanya Aksa tanpa dosa.

"Kamu masih bertanya kenapa? Seharusnya Ibu yang bertanya, kenapa di saat jam pelajaran Ibu kamu malah melamun?! Ibu yakin nggak ada satu pun materi yang Ibu sampaikan bisa masuk ke otak kamu!!!"

Aksa menundukkan kepala. Kini ia tahu apa kesalahannya. "Maafin saya, Bu."

"Keluar sekarang!!!"

AKSAFA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang