BAB 25 : KALUNG

923 182 4
                                    

"WOW!!! INI APA?! APA INI? KENAPA INI TERLIHAT SANGAT LUCU? INI APA HANS?"

Hans tidak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah Arabella yang berjalan kesana kemari di hutan salah tanah kekuasaannya. Banyak hal yang belum pernah Arabella lihat. Semua yang pernah dia lihat rata-rata semua bergambar dibuku saja.

Arabella berdecak kagum melihat langit di atas hutan malam ini terasa sangat berbeda dengan langit di benua Adkavar. Langit yang terasa lebih bersinar di malam hari dengan kumpulan serangga malam yang kebanyakan bersinar.

"Bella, hati-hati."

Arabella yang tidak mendengarkannya, dengan kaki telanjangnya dia berlari kesana kemari seperti anak kecil. Pertumbuhan Arabella kali ini terlihat seperti kedua adik kembarnya yang berusia tujuh belas tahun. Surai hitam legamnya yang sedikit bergelombang diujung mendayu-dayu disetiap langkah yang Arabella ambil. Netra amethyst nya yang menunjukkan dia keturuan Aldrich dan jangan lupakan ciri khas nya. Dua tahi lalat dibawah salah satu matanya. Itu menambah daya tarik Arabella.

Arabella terus menatap jamur bercahaya yang menempel di salah satu batang pohon mati tak sengaja tersandung akar pohon yang menguar. Arabella yang tidak siap untuk jatuh memutuskan memejamkan matanya.

Eh? Tidak sakit.

Arabella mengintip dan melihat jika Hans dengan sigap membuat tubuh Arabella membeku didetik-detik wajahnya akan mencium tanah hitam tepat di depan matanya.

Tangan Hans bergerak. "Aku sudah bilangkan, hati-hati."

Perlahan tubuh Arabella dia tarik dan berdiri seperti semula dan berjalan melewati Arabella begitu saja. Memimpin jalan jauh ke dalam hutan.

Arabella mendengus kesal. Dia berpikir akan ada adegan romantis seperti entah Hans yang merangkul pinggangnya seperti adegan klise yang sering muncul di dalam novel, tapi sihir memang jauh lebih praktis.

Hans menoleh melihat Arabella mengerutu tidak jelas dibelakang, dan menekuk wajahnya menjadi lebih suram dan jelek. Arabella mendengar kekehan dari lelaki di depannya menatap sinis.

"Apa lihat-lihat?!"

"Haha, tidak hanya saja kenapa wajah mu semakin jelek sekarang Bella."

Mendengar itu membuat Arabella semakin menggerutu. "Ingin aku ludahi lagi, hah?!"

Hans segera menggelengkan kepala sebagian jawaban non-verbalnya. Dia tidak ingin melihat sisi lain Arabella yang dimata Hans sangat mendominasi itu. Tekanan yang Arabella bawa kala itu membuat Hans hanya bisa bersujud, dan dia tidak ingin mengalaminya untuk kedua kali.

"Kenapa dinamakan 'Negeri Tanah Hitam'?" Tanya Arabella yang meskipun sudah membaca dari buku, tapi bukan kah bertanya langsung ke penduduk aslinya lebih bagus.

Hans menyingkirkan beberapa ranting pohon yang menghalangi jalannya. Sedangkan untuk Arabella sendiri, gadis itu tinggal menunduk sedikit, atau lebih tepatnya tidak perlu. Hans lebih tinggi darinya. Jika dilihat Arabella hanya setinggi dada lelaki bernetra merah ruby itu.

"Karena tanah nya memang hitam." Jawab Hans yang sama sekali tidak berniat menjelaskan lebih jauh lagi. Lagi pula dia yakin Arabella sudah yakin mengingat kedua adik kembar genius nya itu.

"Tapi ini kan malam. Jelas saja tanah nya terlihat hitam. Sama saja seperti di tanah benua Adkavar bukan." Terang Arabella berjalan disamping Hans, mengejar ketertinggalannya di belakang.

Hans tetap menatap ke depan, tidak berniat sama sekali untuk menatap lawan bicaranya itu.

"Bukan kah Tuan Putri seharusnya sudah tau."

Aku... Tuan Putri?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang