Maaf atas keterlambatanku yang tidak tahu waktu ini ya sayang-sayangku :'(
Sini deh absen dulu
Tadi sarapan sama apa?
Aku Indomie goreng :D
Bikinnya dua bungkus, tapi nggakk abis :(
Mau protes sebenarnya. Bikin kemasan yang isinya satu setengah aja bisa nggak sih? Kalo satu kurang, dua nggak abisOke cukup!
Happy Reading!
Diam-diam selalu memikirkan bagaimana kelanjutan hidup yang akan Tinka jalani kelak. Sudah dikatakan kalau memang benar dia itu didewasakan oleh keadaan, oleh hidup yang memang memaksanya harus berjuang keras.
Dia bukan berasal dari keluarga yang berada, jadi mau tidak mau Tinka harus bisa menentukan ke mana kakinya akan melangkah. Ditambah dengan kondisi keluarga yang keharmonisannya kacau.
Tinka tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Bukankah itu hanya buang-buang waktu? Mau dia yang salah sekalipun tidak akan merubah apapun juga.
"Kamu yakin, Ka? Jepang tu jauh loh."
Pelajaran Matematika sedang kosong, Pak Jamal sedang sakit. Seharusnya jadi angin segar untuk para siswa,tapi salah besar karena beliau meninggalkan banyak tugas. Sedangkan Tinka dan Maura malah asik mengobrol.
"Ya tau, Ra. Tapi, mau gimana lagi. Mumpung ada kesempatan juga. Duitnya lumayan." Tinka hanya mencoret asal bukunya. Dia jadi terpikirkan lagi masalah tentang dia yang ingin ke Jepang. Dia baru memberitahu ibunya dan Maura saja. Om Gulanya belum tahu.
"Beneran nggak mau kuliah lagi? Sayang, Ka. Itu kan impian kamu dari dulu."
Tinka terkekeh sejenak. "Tapi, manusia kapan aja bisa berubah, Ra. Kalau ditanya sayang, ya tetep sayang. Cuma makin ke sini aku jadi mikir semua aspek juga.
Walaupun kata orang asal ada keyakinan pasti ada jalan. Tapi, realistis aja nggak sih? Gimanapun aku juga harus punya planing. Kuliah butuh uang banyak, Ra. Walaupun nanti bisa kerja part time pun aku juga nggak yakin bisa. Ngandelin Ibuk juga nggak bisa."
Tinka hanya mencoba untuk sekedar melihat bagaimana kondisi dirinya sendiri.
"Mungkin emang mimpiku pengen jadi aristek, tapi bukan berarti kalau aku lepasin mimpi itu aku jadi nggak punya mimpi lain, kan? Nanti kalo udah di Jepang mau bikin mimpi lagi deh," lanjut Tinka dengan senyum yang cukup lebar.
Maura yang melihat bagaimana sorot mata sahabatnya tersebut hanya bisa tersenyum tipis. Percayalah, itu adalah sorot mata pilu yang pernah Maura lihat sebelumnya. Tahu betul kalau Tinka sedang berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.
"Iya dong ... harus. Siapa tahu nanti pas udah punya duit banyak bisa punya toko bangunan." Kalau Maura tidak bisa membantu mewujudkan mimpi sahabatnya, setidaknya dia akan selalu jadi sahabat yang baik untuk Tinka.
"Toko bangunan banget sih, Ra."
"Loh, seenggaknya bahan bangunan dibutuhin buat bangun gedung-gedung tinggi, Ka."
"Iya juga sih, ya. Boleh deh. Nanti Tante Amara kalo mau bangun perumahan lagi beli di aku ya, Ra."
"Kalo mau Mama jadi langganan harus kualitas super, tap. Eh tapi, Om Elko tahu rencana kamu nggak?"
Yang tadinya tertawa jadi diam lagi. Dan satu gelengan jadi jawaban. Entahlah, mungkin Tinka akan bicara setelah sudah dekat saja. Karena pasti pria itu tidak akan setuju dengan keputusan Tinka.
***
Karena sudah kelas dua belas, Tinka jadi pulang lebih sore. Ada beberapa kelas tambahan. Walaupun lebih lelah, tapi dia jadi bisa sekalian dijemput Elko.
KAMU SEDANG MEMBACA
EL:Querencia [SELESAI ✔️]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] Seorang ayah seharusnya menjadi cinta pertama untuk anak perempuannya. Namun, bagaimana kalau malah dialah yang menjadi alasan sakit hati dan fisiknya anak? Selama 18th Tinka tidak pernah merasakan sekali saja hangatnya pelukan seora...