38. Tinka hebat

1K 158 112
                                    

Selamat sore, Poeny 💜

Aku tahu kalian sedang jengkel karena udah dua minggu aku nggak apdet 🤧
Aku sakit kemarin, jadi ga bisa ngetik-ngetik karena puyeng.

Sekarang aku panjangin updateannya ya
Semoga suka 🤗




Happy reading!

Pagi itu terasa begitu berbeda. Suara gelak tawa terdengar begitu nyaring dari luar kamar. Dalam pejaman mata, Tinka menarik simpul senyumnya ringan. Apakah sekarang keluarganya sudah bisa disebut dengan keluarga yang sempurna? Sempurna karena cinta yang menyelimuti sekelilingnya sekarang.

Dengan senyum yang tak pudar, Tinka lekas turun dari ranjang. Meninggalkan selimut dan sprei yang masih berantakan begitu saja. Urusannya terasa lebih penting dari sekadar kapal pecah di kamar.

"Lagi pada ngapain, sih, kok happy banget?" seru Tinka yang berjalan mendekati sang ibu dan ayah yang asik entah sedang melakukan apa di ruang tengah.

"Ini lagi lihat-lihat foto kamu jaman dulu," jawab Wining yang tersenyum seraya menunjuk pada album foto kecil di pangkuannya. Satu-satunya kumpulan potret dari putrinya.

"Padahal kamu dulu gendut banget lho, Ka. Beda jauh sama sekarang." Kini giliran sang ayah yang bersuara.

Dengan wajah muram, Tinka mengambil duduk di samping Wining, melingkarkan kedua tangannya dari pinggang sampai perut sang ibu.

"Ih, pamali body shaming atuh, Pak. Sama anak sendiri mah gitu," protes Tinka dengan dagu yang menempel pada satu punggung sang ibu.

Tangan Johan terulur untuk mengusap kepala putrinya. "Sekarang mah cantik anaknya bapak. Mana udah punya pacar ganteng."

Wajah yang semula masam berubah ceria seketika.

"Nanti kalau udah nikah ikut suaminya, ya? Udah jarang ketemu lagi dong sama bapak sama Ibuk. Apa lagi bakal pergi ke Jepang," tambah sang ayah, membuat Tinka jadi ingat kalau waktunya untuk pergi memang sudah mulai dekat.

"Jangan gitu atuh, Pak. Pasti nanti Tinka sering-sering ke sini lah. Orang rumah Om Elko juga deket, kan."

"Memang yakin nanti nikahnya sama Elko?" celetuk Wining menggoda putrinya.

Benar juga. Jodoh memang tidak ada yang tahu. Namun, Tinka berharap siapa pun itu pria yang akan menikah dengannya nanti, kalau bisa tidak terlalu jauh dengan orang tuanya. Jadi, kapan saja bisa bertemu. Terlebih pada ayahnya yang masih sebentar merasakan hangat pelukannya.

"Ya do'ain makanya biar langgeng. Emang nggak mau punya mantu ganteng sama banyak duit kayak Om Elko?"

"Eh, nggak boleh anak prawan ngomong gitu, Ka," protes ibunya.

"Itu mah realistis, Buk. Emang siapa, sih yang nggak mau punya suami kaya. Apa lagi orangnya baik dan yang paling penting dia mau kerja keras."

Tanpa sadar, ucapan Tinka ternyata membuat Johan jadi terdiam. Seolah sedang ditampar oleh kenyataan. Pantas anaknya bermimpi untuk mendapatkan pria yang bisa memperlakukannya dengan baik karena sepanjang hidup putrinya mendapat figur ayah yang buruk.

"Bapak mau ke mana?" tanya Tinka yang mendapati sang ayah memutar kursi rodanya.

"Mau ke kamar mandi sebentar."

"Mau Tinka bantuin?" Tinka ingin berdiri, tapi ucapan sang ayah kembali menghentikannya.

"Nggak usah, bapak bisa sendiri."

EL:Querencia [SELESAI ✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang