Hi
Akhirnya bisa update juga🤧Jangan lupa kasih vote dan komen ya sayang. Biar semangat juga aku nulis lanjutannya 👀
Jangan lupa follow my IG @pigeonpurple14
Sumpah, rasanya kepala Tinka ingin meledak saja. Sebenarnya otak Tinka yang tidak berjalan dengan baik atau otak Maura yang terlalu cerdas, sih? Bahkan Marvel saja sudah angkat tangan dan ijin untuk undur diri terlebih dahulu. Katanya serasa ada asap yang mengepul di atas kepala.
"Udah selesai belum, Ka?" tanya Maura yang baru saja datang dari kamar mandi. Masih sama, mereka belajar setelah jam pulang di taman belakang sekolah.
Kenapa tidak belajar di perpustakaan saja? Iya, sebenarnya juga inginnya begitu. Tapi, Tinka itu tipe yang tidak bisa kontrol suaranya. Bisa-bisa baru lima menit duduk sudah diusir oleh penjaga perpustakaan.
"Nih," jawab Tinka bersamaan dengan menyodorkan buku yang berisi soal-soal yang sebelumnya Maura berikan dan sudah Tinka kerjakan. "Otakku udah ngebul, Ra. Nggak kuat mikir lagi."
Tinka meletakkan kepalanya pada meja kayu yang dia tempati. Mencoba untuk mendinginkan lagi otaknya yang sudah bekerja cukup keras hari ini. Berharap hasilnya nanti benar-benar sesuai apa yang Tinka inginkan. Setidaknya beasiswanya masih bisa di genggaman saja sudah puas. Mengingat bagaimana dia berusaha sekeras ini.
Suasana hening sejenak. Sementara Maura sedang mengecek jawaban, Tinka sudah memejamkan matanya rapat. Sekelebat ingatan kemarin sore kembali terlintas dalam pikirannya.
Kemarin saat pulang, Tinka mendapati ada seorang tamu yang datang ke rumah Elko. Tidak sengaja dia mendengar percakapan dua pria dewasa itu ketika dia sedang mengambil minum di dapur. Dan saat itu juga dia tahu bahwa pria yang datang itu adalah suami dari mantan kekasih Elko yang pernah Tante Sonia ceritakan dulu.
"Jaga Tisya baik-baik, Vin."
Itulah kalimat terakhir yang terdengar ketika pria yang Tinka tahu bernama Vin itu berpamitan. Masih sesayang itukah Om Gula kesayangannya pada sang mantan kekasih?
Ada sedikit perasaan tidak nyaman pada diri Tinka. Dadanya seperti sedang diremat-remat. Apakah dia sudah mulai benar-benar menyukai pria itu?
"Ra, aku kayaknya lagi sakit, deh."
Maura yang mendengar ucapan temannya tersebut reflek mengulurkan tangan dan memegang kening Tinka. "Enggak panas."
Tinka menegakkan kembali tubuhnya, kemudian menggeleng malas. "Sini yang sakit." Salah satu tangannya menepuk-tepuk dadanya pelan.
"Kamu asma?"
Tinka menggeleng lagi. "Hatinya yang sakit, Ra."
Beberapa kali Maura mengerjapkan mata dan kembali berpikir. "Sakit hati kenapa?" tanya Maura lagi setelah sadar bahwa temannya itu bukan sakit dalam hal fisik.
"Kayaknya aku bener-bener jatuh cinta deh sama Om Elko."
"Lah, kemarin emang belum cinta beneran?" Maura masih fokus mengoreksi soal, tapi kupingnya masih cukup tajam untuk mendengarkan curhatan temannya tersebut.
"Masih cuma sekedar suka. Terus seneng aja bisa godain Om Elko." Tinka terkekeh saat mengingat bagaimana wajah marah Elko yang terlihat ketika dirinya selalu mengatakan tentang kesukaannya pada pria tersebut.
"Tapi, kayaknya sekarang beneran sukanya. Bener-bener suka antara cewek sama cowok. Tapi—"
"Tapi, kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EL:Querencia [SELESAI ✔️]
Fiksi Remaja[SUDAH TERBIT] Seorang ayah seharusnya menjadi cinta pertama untuk anak perempuannya. Namun, bagaimana kalau malah dialah yang menjadi alasan sakit hati dan fisiknya anak? Selama 18th Tinka tidak pernah merasakan sekali saja hangatnya pelukan seora...