PROLOG

3.5K 315 236
                                    

"Kehidupan itu tak seindah senyuman."

Kata-kata itu benar-benar cocok dengan keadaanku.

Memiliki keluarga utuh yang diselimuti dengan hangatnya kasih sayang orang tua adalah impian semua orang, termasuk aku. Namun sayang, itu hanyalah sebuah angan-angan yang bahkan aku sendiri tak bisa membayangkannya sekali pun di dalam mimpi..

“NGGAK USAH PELIT SAMA BAPAK SENDIRI!”

Itu adalah teriakan dari bapakku sendiri, setelah sukses menampar pipi kananku.

“Bapak, jangan! Itu tabungan buat ujian Tinka besok!” mohonku pada bapak yang sudah berhasil mengambil satu kotak penyimpanan uang yang memang berada di bawah kolong tempat tidurku.

Padahal aku sudah menyembunyikannya seaman mungkin, tapi Bapak masih juga berhasil menemukannya lagi. Iya, lagi karena itu terjadi tidak hanya satu atau dua kali.

Aku sendiri bingung dengan gaya hidup Bapak. Entah apa yang dilakukannya sehari-hari sampai selalu kehabisan uang. Lalu, di mana uang hasil dia bekerja? Ah, hasil uang jadi preman pasar seharusnya banyak, bukan?

“Ujian masih satu tahun lagi. Nanti uangnya bapak ganti." Bapak berujar dengan begitu entengnya. Apakah dia tidak berpikir betapa kerasnya aku berusaha mengumpulkan uang itu? Sampai aku harus bekerja di sela-sela kesibukan sekolahku.

Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan olehnya. Selalu seperti itu, tapi nyatanya selalu seperti ini juga, lagi-lagi dia mengambil uang yang aku kumpulkan dari kerja paruh waktuku.

“Kamu cantik, Tinka. Besok kalo bapak nggak punya uang lagi, kamu bapak jual, ya?” lanjutnya dengan nada tanpa dosa.

Bapak sedang mabuk berat, aku yakin dia tengah bermain dengan bandar judi di kampung sebelah. Rasanya ingin sekali aku lapor pada polisi agar mereka segera musnah dari daerah sini.

Mereka itu meresahkan, banyak orang yang terjebak dalam permainan mereka. Padahal mereka hanya ingin untung tanpa harus berusaha keras dan alhasil mereka menipu dengan kedok judi. Judi saja sudah salah, apalagi jadi penipu judi. Kerak neraka bahkan tidak ingin menerima mereka.

Ibu yang sejak tadi tidak berani mendekat akhirnya segera berlari menghampiriku setelah Bapak membanting pintu rumah. “Ya ampun, Tinka! Bibir kamu berdarah!”

“Ibuk, kita pergi aja, yuk! Kita tinggalin Bandung. Ke mana aja, yang penting jangan sama Bapak. Tinka masih punya tabungan yang lebih banyak. Tinka titipin sama temen Tinka,” pintaku pada ibuku.

Sungguh, aku benar-benar tidak tahan lagi. Bahkan lukaku  belum seberapa dari yang ibuku dapatkan.

“Kita sadarin bapak kamu, ya, Tinka. Ibuk yakin, suatu saat bapakmu pasti bisa sadar.”

Kelemahan ibuku adalah rasa cintanya pada Bapak dan juga dirinya yang memiliki sifat belas kasih yang terlalu tinggi.

Ini sudah sepuluh tahun dan Bapak masih belum sadar juga. Mau sampai kapan? Sampai aku hanya tinggal nama di batu nisan? Syukur-syukur kalau diberi batu nisan, kalau dibuang ke laut bagaimana?

“Maafin bapakmu ya, Tinka.”

Pada akhirnya Ibuk akan bicara seperti itu setiap aku disiksa. Bahkan sekarang aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi saking seringnya.

Aku hanya perlu memaafkan saja, bukan? Walaupun besoknya aku akan dipukuli lagi. Maaf, pukul, maaf, pukul. Seperti itu saja terus sampai entah kapan.

To be continue ....


Kamis, 28 Januari 2021
With Luv,
-pigeonpurple-

EL:Querencia [SELESAI ✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang