H a p p y
R e a d i n g"Ngapain lo?" tanya Azkar, yang tampak tersulut emosi ketika memergoki Farel, yang berada di ruangan lukisan miliknya.
Farel hanya diam tak berkutik, matanya melihat-lihat kaca, yang berserakan di lantai.
"Ngapain masuk ke kamar gue ha?" lanjutnya lagi, dengan suara, yang amat tinggi. Saat ini dirinya sudah berada tepat di depan Farel.
Lagi dan lagi tidak di gubris oleh adiknya itu. Farel diam sejenak, sebelum iya mengambil sebuah kaca yang berserakan di bawahnya.
"Awas kena kaki," Kata Farel, memperingatkan Azkar, tanpa menghiraukan dirinya, seraya mengambil pecahan kaca tersebut.
Shhh.. Farel meringis saat, pecahan kaca itu mengenai jari tangannya.
Lalu Azkar yang melihat itu, lantas langsung menekan tombol lampu, yang berada tepat di dinding sampingnya.
Saat merasa suasana berubah menjadi terang, Farel melihat sekeliling dengan tatapan menakjubkan.
Ruangan ini, seperti ruang lukisan. Banyak sekali lukisan, yang tertata rapi di sini, ada yang di atas nakas, dan ada pula yang di dinding.
Azkar, yang berdiri di situ pun, ikut melihat-lihat lukisan-lukisan yang berupa seorang gadis cantik, dengan tatapan sendu.
Lalu Azkar beralih menatap Farel dengan tatapan nanar, Farel yang melihat itu pun lantas langsung bangkit dari posisi jongkoknya.
Kedua kakak adik itu saling menatap satu sama lain, dengan tatapan yang tersirat luka.
****
"Jacket ini," Monolog Nafisya seraya mengambil jacket itu di dalam sebuah lemari. Dirinya saat ini, sedang sibuk memilih-milih baju, untuk di pakainya nanti malam.
"Farel," gumamnya seraya tersenyum tipis.
"Di pisahkan oleh waktu, di pertemukan lagi oleh takdir." Lanjutnya lagi bermonolog sendiri seraya memeluk sayang jacket, yang berwarna hitam itu.
"Tapi sayangnya lo nggak ingat gue." Ucapnya dengan memandang kosong jacket itu. Saat ini ia sedang duduk di atas kasur.
"Gue berharap ingatan Lo cepat kembali Rel." Setelah mengatakan itu, dirinya langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya memeluk jacket itu, dan terlelap kealam mimpi.
Sedangkan Acha Bayi itu sudah Nafisya titipkan ke abangnya.
****
"Lo kenal nggak dia siapa?"
" Dia tunangan gue yang Lo hancurin Rel!"
"Lo jahat Rel! Lo udah merebut kebahagiaan gue!"
Ucapan-ucapan Azkar tadi, kembali berputar di kepala Farel. Membuat kepala laki-laki itu berdenyut hebat.
Farel saat ini sedang berada di balkon kamarnya, menatap hamparan senja yang begitu indah, dengan seiring turunnya air mata sang langit.
"ARGH...." Teriak Farel seraya memegang kepalanya, yang masih berdenyut hebat.
"Coklat."
"Gue takut petir."
"Liat deh indah ya sunsetnya."
"Gue suka hujan, tapi takut sama petir."
Tiba-tiba saja memori-memori lama, terlintas di kepalanya.
"Nafisya."
"Farel."
Ucap keduanya di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, ketika mendengar suara petir, yang menggelegar.
Nafisya tiba-tiba terbangun dari tidurnya, setelah mendengar suara petir yang sangat kuat.
"Abang.... Gue takut petir." Pekik Nafisya, seraya berlari menuju ke kamar Kevin, dengan tangan yang masih menenteng jacket hitam tadi.
"Apa sih dek? " tanya Kevin, setelah melihat Nafisya masuk ke kamarnya dengan ngos-ngosan seperti anak kecil.
"Pake nanya lagi, petirnya kuat banget bang," sahut Nafisya seraya naik ke atas kasur, yang sudah terdapat Kevin dan juga Acha.
"Caelah itu doang?" tanya Kevin, yang langsung di hadiahi lemparan guling oleh adiknya.
***
Kini malam sudah tiba. Hujan, petir yang tadinya menghiasi langit senja, kini telah usai dan berubah menjadi langit malam yang indah, dengan taburan bintang yang berkelap-kelip.
Saat ini Nafisya dan Kanaya sudah berada di dalam gramedia.
"Lo mau beli novel apa sih Sya?" tanya Kanaya, geram melihat sahabatnya satu ini, pasalnya mereka telah berputar 7 keliling, tapi belum juga berhasil mendapatkan novel, yang Nafisya inginkan.
Nafisya membalikkan badannya mengahadap Kanaya, "Bentar lagi juga ketemu," sahutnya santai. Kanaya hanya memutar bola matanya malas.
"Oh ya, Nay ngapain sih di belakang gue," Nafisya mengambil jeda seraya menarik lengan Kanaya, supaya berada di sampingnya. "Nah gini dong setarain, masa di belakang gue, itu namanya ngekorin," Sarkas Nafisya, Kanaya hanya menyimak saja tanpa menanggapi ocehan gadis itu.
Sedetik setelah itu, tatapan Kanaya terkunci pada seseorang, yang berada di cafe, yang letaknya tepat di depan Gramedia.
"Sya," Panggil Kanaya, tangannya naik menarik lengan Nafisya.
"Apa?" tanya Nafisya menoleh ke samping.
"Lo liat enggak itu yang di cafe?" tanya Kanaya tangannya menunjuk seseorang yang berada di sana.
"Iya liat, kenapa emang?" sahut Nafisya santai.
"Kenapa?" Kanaya mengulang perkataan Nafisya. "Lo enggak liat mukanya pucat banget." Jelas Kanaya.
"Iya gue liat, terus?" Nafisya mengambil jeda, "Gue harus bilang woww gitu." Tandasnya.
Kanaya hanya menghela nafasnya gusar, "Kok gitu sih, itukan pacar Lo." Jawab Kanaya, tak habis pikir.
Nafisya yang mendengar itu ia hanya mengheluskan dadanya. Ini Kanaya yang pikun, apa dirinya yang pikun. Bukankah dirinya sudah memberitahukan perihal itu? Itulah yang ada di pikiran Nafisya. Biasa yang memberitahu dan di beri tahu suka lupa.
To Be Continue
Thanks for you readers💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Bintang [ Selesai ]
RomanceBertemu hanya untuk berpisah. Sebaik-baiknya cara mu berpamitan, yang namanya perpisahan tetaplah menyakitkan. Apalagi perpisahan tanpa pamit. "Tuhan jika di tanyakan permintaan ku apa." "Maka, yang ku minta adalah bertemu dengannya, yang telah kau...