26~✨Sabuk hitam ✨

10 4 1
                                    

H A P P Y
R E A D I N G

Pintu utama rumah, telah terbuka serta menampilkan sosok seorang laki-laki lansia, dengan sikap yang tampak seperti sedang terbakar api amarah.

Sedangkan di sisi lain, Prastama bersama Azkar yang tampak sedang asik bermain PS, sontak mereka langsung terkejut. Setelah melihat sosok yang telah lama tidak muncul, kini muncul kembali.

Prastama yang sedang duduk beralaskan karpet itu pun, lantas langsung berdiri, "Pa." Ucapnya.

Adista tidak menghiraukan, Prastama. Matanya menatap tajam Azkar yang kini sedang menatapnya tanpa kedip.

Tak lama Azkar ikut berdiri, ia ingin memeluk tubuh laki-laki, yang sedang di depannya ini. Jujur ia sangat rindu.

"Kakek," ucap Azkar seraya berjalan mendekati kakeknya itu.

"Jangan kek!" Teriak Farel, seraya berlari dan mendorong tubuh Azkar.

Bugh

"Arghh." Farel meringis kesakitan, seraya memegang perutnya itu.

"Farel!" teriak Adista.

"Farel." Gumam Azkar, yang sedang terduduk di lantai akibat dorongan Farel.

Adista berjalan mendekat, menghampiri cucunya yang tersungkur akibat tendangannya Farel terpental, punggungnya terhentak pada meja yang di belakangnya, bukan itu saja bahkan vas bunga yang berada di meja jatuh, serta pecahan kacanya yang menghantam pergelangan tangan cowok itu yang membuat pendarahan pada lengannya.

Dengan keadaan terduduk Farel tak henti-hentinya memegang perutnya, yang terasa nyeri, mendapat tendangan yang bukan main dari kakeknya sendiri, demi menyelamatkan Azkar. Tendangan dari pemegang sabuk hitam karate.

"Kamu kenapa selamatin dia?" tanya kakeknya. Namun, cowok itu hanya diam saja, menahan rasa sakit sambil menggigit bibir bawahnya. Kondisinya terlalu lemah, untuk berbicara saja rasanya tidak mampu.

Kakeknya hanya menatapnya prihatin, begitu juga dengan Azkar yang ikut merasakan sakitnya. Sedangkan prastama yang masih ada di sekitar, hanya menatap putranya itu, tanpa rasa peduli sedikitpun.

"Ayo ke kamar ya." Ajak kakeknya, lalu memapah Farel.

"Kek itu Abang kenapa?" teriak Keyra yang baru memasuki rumah, serta memberhentikan langkah kaki kakeknya itu.

"Owh maag ya? tadi selama perjalanan maag Bang Farel kambuh." Lanjutnya.

"Apa kambuh?" Sontak Azkar langsung terkejut. Ia tidak bisa membayangkan sakitnya, di saat maagnya kambuh malah terkena pukulan sabuk hitam di bagian perutnya.

"Cepat telfon dokter sekarang!" titah Adista yang ikut panik, dan di turuti oleh Azkar.

****

Kini di kamar yang bernuansa abu-abu itu, tengah terdapat seseorang yang sedang terbaring lemah dengan mata yang tetap terbuka.

Dengan beberapa keluarganya, yang sedang berada di sekeliling cowok itu.

Tak lama kemudian, dokter pun datang dan bersiap-siap untuk mengecek kondisi Farel.

Adista yang tengah berada di sisi ranjang, yang tepatnya di samping Farel, seraya masih mengelus surai hitam rambut cowok itu, dan memegang tangannya. Lalu Adista pun bangkit dari duduknya, untuk memberikan ruang kepada dokter itu.

Dokter itu dengan telaten memeriksa Farel, mulai dari memasangkan alat bantu pernapasan serta memasang sebuah infus di tangannya.

Namun ketika dokter itu mulai menyingkapkan baju Farel sampai sebatas dada. Dokter yang bernama Iwan itu hanya menggelengkan kepalanya saja, serta yang lain tampak terkejut.

"LUKA APA INI?" tanya Adista ia murka.

Tidak ada jawaban, semua orang di situ tampak terdiam seraya meratapi bekas-bekas luka yang terdapat di perut cowok itu.

Sampai akhirnya dokter itu bersuara, "Tolong diam pasien butuh ketenangan, bukan keributan!" titahnya.

Adista hanya menghela nafas gusar, matanya menatap nyalang ke arah Prastama.

🔥🔥🔥

"Gue nggak tenang Nay, gue takut kalau terjadi apa-apa sama Farel." Ucap Nafisya mengaduh pada Kanaya. Mereka saat ini sedang berada di dalam mobil menuju perjalanan pulang. Dengan Nafisya, yang menyetir.

"Udah ya Lo tenang aja, gue yakin kalau Farel bisa jaga diri." Balas Kanaya yang duduk di sampingnya.

"Baru aja gue di pertemukan sama dia, udah ada kejadian seperti ini, ini benar-benar nggak adil Nay."

"Seakan-akan dunia nggak izinin untuk kita bahagia." Lanjutnya dengan tatapan kosong.

"Dari pada Lo kepikiran mulu mending Lo telepon dia aja deh." Ujar Kanaya memberi saran.

"Owh iya ya tumben Lo pinter." Jawab Nafisya, dengan muka tanpa dosanya.

"Gitu amat lu ah."

"Eh tapi gue nggak punya nomornya." Keluh Nafisya.

Kanaya yang mendengar itu hanya Ketawa, "Katanya calon, masa nomor aja nggak punya?"

"Iiihh kan gue baru ketemu sama dia, eh maksudnya kita baru dekat."

"Jadi gimana dong?" tanya Kanaya.

"Mintakin sama ayang beb mu dong Nay." Jawabnya dengan cengiran khasnya.

"Ah Lo mah, ya udah bentar." Kanaya merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel miliknya.

To be continue

Thanks for you readers 💙

Lebih Dari Bintang  [ Selesai  ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang