CSG 08- Elegi

18.6K 1.6K 152
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

-Happy reading-

*****

Fiza melambaikan tangannya pada Gus Afkar yang baru saja keluar dari kelas. Pemuda itu langsung menghampirinya di depan pintu gerbang berpapan nama 'MA Darul-Ulum', pendidikan formal yang setara dengan sekolah menengah atas yang pengelolaannya dilakukan oleh kementrian agama.

Tadi pagi, Fiza meminta izin mengisi seminar di kampusnya yang kebetulan searah dengan sekolah gus Afkar. Karena acara seminarnya selesai bertepatan dengan jam Gus Afkar pulang sekolah, jadi sekalian kata Gus Afkar untuk menjemputnya disekolah karena motornya sedang diservis di bengkel.

"Saya yang nyetir," lontar Gus Afkar pada Fiza.

"Baiklah."

Langkah Gus Afkar yang hendak menuju kursi kemudi terhenti sejenak, ketika melihat penampakan Ning Radiya yang sedang melihat kearahnya dari jarak tiga meter. Wajah pemuda itu datar saja, tak berbinar seperti biasanya ketika menatapnya.

Untuk sesaat mata mereka bertemu. Namun, tak sedikitpun dari mereka berniat untuk menyapa. Sebelum akhirnya Gus Afkar langsung membuang muka dan menggenggam tangan Fiza, mengajak segera pergi.

"Ayo, Fi matahari sangat menyengat hari ini, nanti kulit kamu gosong." Volumenya dinaikkan seakan-akan sengaja agar terdengar oleh Ning Radiya.

Ning Radiya menunduk menahan cemburu di sana. Kiara, sahabatnya menatapnya tak tega. Kedekatan keduanya membuat mereka tak memiliki rahasia apa-apa.

"Ning Radiya gak sekalian ikut? Kita antar saja dia ke ndalem nya gimana?" usul Fiza.

Niat baik Fiza malah mendapatkan tatapan elang dari Gus Afkar. "Kamu bisa gak, jangan terlalu baik. Nanti dia dijemput."

Fiza meringis pelan. Ia tak mengerti ada dengan Gus Afkar yang kemarin mati-matian mengejar Ning Radiya, tapi justru sekarang bersikap seacuh ini kepadanya.

"Kalau kamu bersikap kayak tadi karena menghargai saya, rasanya kurang tepat. Bagaimana pun juga kamu dan Ning Radiya masih punya hubungan keluarga."

"Yang perlu kamu lakukan hanya menjaga batasan, karena kalian bukan mahram, tapi bukan berarti harus memutuskan hubungan silaturahmi."

Gus Afkar kicep. Di condongkannya badannya pada Fiza seraya menatap mata Fiza lekat. Tangan putih yang dihiasi urat itu menarik seat belt lalu memasangkannya ditubuh Fiza.

"Orangtua Ning Radiya melarang saya dekat dengan dia. Jadi apa salah saya menjauhi dia? Dan sejak kapan menjauh itu memutus tali silaturahmi?"

"Saya mencintai dia, tapi dia adalah luka karena tidak bisa saya miliki. Sebesar apa pun perasaan ini kepadanya, semuanya hanya akan berakhir sia-sia, karena takdir saya bukan dia, tetapi kamu."

"Saya bersikap seperti tadi, karena tidak mau luka ini semakin menganga."

Jelas, Fiza melihat rasa sakit dimata Gus Afkar saat mengatakan hal itu. Ada air menggenang di sana sebagai perwakilannya.

"Semuanya salah saya," lirih Fiza.

Gus Afkar menggeleng disertai tawa kecil. "Kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri sama saja kamu menyalahkan takdir Tuhan."

CINTA SEORANG GUS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang