Mengisi acara Tabligh Akbar di masjid An-najah, mungkin akan menjadi acara pertama yang dihadiri gus Afkar sebagai penceramah, sekaligus terakhir sebelum esok lusa melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya, Haifa Azzahra.
Pemuda itu kini digiring naik ke atas panggung dengan dikawal petugas satpol PP. Ratusan jama'ah dibawah panggung duduk lesehan diatas tanah yang sudah dilapisi sebuah terpal, berbaris rapi, tidak berisik karena ceramah akan segera dibawakan oleh Gus muda itu. Di panggung seberang, terdapat jajaran anak Hadrah yang ikut memeriahkan acara dengan mengajak para jama'ah bersalawat kepada manusia nomer satu dimuka bumi.
Gus Afkar menepuk-nepuk permukaan mik, mengetes kemudian memulai pidatonya yang bertema 'Menjadi muslim gen z'. Para jama'ah yang memang kebanyakan dari kalangan anak muda mendengarkan dengan takdzim.
"Perkembangan zaman semakin canggih. Di era yang serba digital ini, sayang sekali jika kita tidak memanfaatkannya dengan baik. Disela kesibukan kita dengan berbagai aktivitas, biasanya kita kan suka cari hiburan dihape. Nah jadikan sosial media sebagai alat untuk kita semakin taat dan menambah wawasan ilmu agama kita. Banyak kemuka agama yang bisa kita jumpai kajiannya secara online atau virtual. Jangan berlarut-larut dalam kenikmatan dunia, sehingga hanya menjadikan sosial media sebagai bahan untuk bersenang-senang saja. Boleh sesekali main game, tapi jangan sampai berlarut-larut apalagi sampai meninggalkan salat."
"Apalagi yang anak muda ini. Waktu begitu berguna. Dia melesat lebih cepat dari sebuah panah. Kalau sudah terlewati, tetapi tidak banyak hal yang kita gunakan dalam waktu itu, maka alangkah ruginya kita. Usahakan sebelum kalian membina rumah tangga untuk mengejar kesibukan taat sebelum nanti disibukkan dengan tugas rumah tangga."
"Jadilah anak muda yang mengikuti perkembangan zaman, namun tidak menghilangkan kewajiban kita sebagai muslim. Kalau bahasa kerennya sekarang, gaul tapi taat."
Semua orang tersenyum ria mendengarkan isi pidato pemuda itu. Tak menyangka, jika kini sedang berhadapan dengan generasi alm. Kiai besar.
Ceramah berlangsung kurang lebih selama dua jam. Selesai acara, pemuda itu berniat langsung kembali ke ndalem bersama kang santri yang menemani karena ingin segera mengistirahatkan penat. Beberapa hari ini, ia sibuk mengurus acara pernikahannya yang sudah dekat. Kan tidak lucu kalau di hari H-nya mendadak ia jatuh sakit akibat kelelehan.
Akan tetapi niatnya terurung ketika netranya menangkap seorang perempuan yang sedang membersihkan buku catatan yang terjatuh ketanah dan terkena debu.
Tatapan mata mereka saling bertemu. Gus Afkar menajamkan penglihatannya, memastikan bahwa yang ia lihat saat ini bukan hanya sebuah ilusi. Bukan apa, tapi objek yang ia lihat itu sudah sering menggentayanginya. Hatinya berdegup kencang, tertegun menyadari bahwa yang ia lihat tidak salah lagi. Yang ia lihat saat ini adalah dia.
Tampaknya bukan hanya Gus Afkar saja yang kelihatan terkejut, jika ditilik dari ekspresi muka. Melainkan kang santri yang disebelahnya juga.
Ditatap intens seperti itu membuat Hifdza buru-buru pergi. Ia malu terlihat oleh Gus Afkar, yang mana merupakan anak Kiai besar. Harusnya dirinya tidak muncul di depannya, kan?
"Fiza." Tangannya disentuh. Hifdza refleks menepisnya kasar. Matanya melotot sempurna. Inikah Gus yang dihormati oleh semua orang? Menjaga batasan dengan lawan jenis saja tidak mampu.
"Fi, saya tahu saya suami yang buruk, tapi jangan begini." Mata Gus Afkar nanar.
Alis Hifdza mengernyit. "Maksudnya? Maaf, nama saya Hifdza bukan Fiza."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEORANG GUS [END]
General FictionDemi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza, tapi Fiza begitu baik dan sabar menghadapinya. Berbagai cara Gus Afkar lakukan agar Fiza mau menyera...