CSG 37- Manipulatif

11.9K 1.1K 540
                                    

Perlahan mata Hifdza mulai terbuka. Ranti yang setia menunggunya tersadar, merapal syukur. Mengusap pipi Hifdza lembut. Masih tergambar sisa kecemasan diwajahnya. Walau rasa lega lebih mendominasi saat ini.

"Ma, Gus Afkar dimana?"

Wajah Ranti menjadi masam. "Dia sudah pulang ke kotanya."

Hifdza murung. Matanya berkaca-kaca. Lama terdiam sebelum kembali mengeluarkan suara, memberanikan diri bertanya hal yang selama ini dipendamnya. Lebih-lebih semenjak putra Kiai itu mengganggu hidupnya.

"Ma, sebenarnya aku ini Hifdza atau Fiza?"

"Ya jelas kamu adalah Hifdza. Bukan Fiza! Jangan-jangan kamu sudah diracuni sama Gus Afkar."

Hifdza segera membantah dengan gelengan keras. Ia sangat yakin Ranti berbohong. Jika dia memang benar, apa maksud rekaman yang seringkali mengusik isi kepalanya? Hifdza sudah mencoba menyusun puzzle, menebak-nebak apa kiranya yang terjadi kepada dirinya. Meski semuanya masih abu-abu. Hifdza tak dapat mengingat apa pun.

"Kalau aku Hifdza, siapa orang yang selalu menghantui mimpi Hifdza, Ma. Siapa orang yang sering terlintas dikepala Hifdza secara sadar? Banyak kejadian yang terasa dejavu. Tapi Hifdza tidak ingat apa pun." Pening kepala Hifdza memikirkannya.

Otot-otot wajah Ranti mengeras. Matanya melotot, terlihat sangat marah. Suasana menjadi sangat menegangkan. Penuh dengan dengan emosi.

"Percuma Mama menjelaskan, kamu juga tidak akan percaya."

"Kalau begitu yakinkan Hifdza, Ma."

"Semua bukti-bukti sudah Mama tunjukkan dari dulu kepada kamu, Dza. Mama harus meyakinkan apa lagi? Mama sedih kamu seperti ini. Selama ini kamu tidak percaya sama Mama?"

Ranti meneteskan air mata, meninggalkan kamar teramat kecewa. Hatinya terkoyak.

Hifdza memijit pelipisnya, bingung. Hatinya condong pada Gus Afkar, tetapi logikanya menolak setelah melihat semua bukti yang ada.

* * *

Gus Afkar berlari membelah gerimis hujan, tak memedulikan luka dikepala yang telah kering terasa perih. Langkahnya terhenti di depan teras rumah Haifa.

Dari desa, ia tak langsung pulang ke ndalem, tetapi berbelok arah menuju rumah Haifa. Gus Afkar merasa bersalah dan ingin meminta maaf karena telah abai.

Sebelumnya, Gus Afkar sudah mengabari Haifa, bahwa ia akan datang. Haifa menolak, sebab Mahfudz tak ada di rumah. Dia seorang diri, katanya takut terjadi fitnah.

Gus Afkar tak peduli. Ia tetap datang, membunyikan bel rumah kini. Mau tak mau calon istrinya harus menemui.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussa--" Tak sempat Haifa menyempurnakan salamnya, ketika netranya gagal fokus melihat luka dikepala Gus Afkar. Darahnya kering.

"Astaghfirullah al'adzim. Kepala Gus kenapa?"

Gus Afkar menyengir. "Tidak apa-apa."
Haifa mendengus. Masuk ke dalam lagi, mengikuti naluri alamiahnya untuk mengambil kotak obat guna mengobati luka dikepala Gus Afkar.

CINTA SEORANG GUS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang