CSG 10- 3 Syarat

17.8K 1.4K 83
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

-Happy reading-

*****

"Fiza," panggil Gus Afkar membangunkannya seraya mengguncang lengannya karena sudah waktunya subuh.

Pemuda itu sedikit heran, karena tak biasanya Fiza bangun lebih telat darinya. Bagaimana tidak. Sedari kecil Fiza sudah terbiasa bangun diwaktu sepertiga malam, melaksanakan tahajud, muraja'ah sampai subuh menjelang jika tidak sedang berhalangan.

Yang Gus Afkar ketahui kemarin malam Fiza masih salat isya'di asrama. Jadi tidak mungkin tiba-tiba Haid.

"Fiza, sudah subuh." Gus Afkar menepuk pipi Fiza dengan hati-hati. Namun, yang ia dapat setelahnya adalah menyadari kulit Fiza panas.

"Fiza demam. Ini pasti karena dia tidak tidur semalaman terlalu memikirkan apa yang aku ucapkan. Jadi sakit, kan? Ck!" monolognya.

Diperhatikannya mata Fiza yang terlihat bengkak dan bibirnya pucat. Gus Afkar sungguh merasa bersalah telah menyakitinya.

Gus Afkar menghela napas panjang. Langkah kakinya terayun mengambil kotak obat dilaci. Sebelum itu ia mengambil stok roti agar Fiza makan sesuatu sebelum meminum obat.

Sedikit demi sedikit Fiza mulai membuka matanya mendengar suara adzan dari toa masjid. Tubuhnya menggigil dan badannya terasa remuk.

Gus Afkar tersenyum melihatnya sudah membuka matanya. "Kamu demam, Fi. Minum obat ya," katanya berjalan mendekati Fiza lalu duduk disampingnya seraya tersenyum.

"Gak perlu, saya baik-baik aja," dingin Fiza.

Fiza mamaksakan dirinya beranjak dari tempat tidur. Saat ingin menginjakkan kaki dilantai tubuhnya terhuyung tak berdaya. Kepalanya terasa berkunang-kunang dan berat sekali. Beruntung Gus Afkar sigap menangkap tubuh kecilnya.

"Udah tahu sakit masih aja maksa bangun," gerutu Gus Afkar. Pemuda itu menuntunnya duduk dikasur.

"Sebagai muslimah yang waras saya tahu kewajiban saya ketika mendengar suara adzan," sarkas Fiza. Demi Tuhan ia sangat kesal sekali kepada Gus Afkar karena masalah tadi malam. Makanya ia tidak bisa mengontrol ucapannya dengan baik.

"Sebagai muslim walaupun masih banyak khilafnya saya juga tahu kalau Tuhan kita itu maha pemberi kelonggaran. Waktu subuh masih lumayan panjang. Kenapa gak minum obat dulu? Siapa tahu nanti rasa sakitnya jadi sedikit reda dengan begitu kamu bisa salat dengan lebih khusyuk."

Fiza diam tak berkutik, membenarkan perkataan Gus Afkar dalam hati.

"Diam artinya kamu setuju dengan perkataan saya," pungkas Gus Afkar.

Gus Afkar membuka bungkus roti berisi selai strawberry dan memberikannya kepada Fiza sambil berkata, "Sebelum minum obat makan roti ini dulu pasti perut kamu masih kosong. Biar ada tenaga juga."

Fiza yang merasa butuh diperhatikan hanya dapat mendumel dalam hati. Pasalnya suaminya menurutnya tidak peka, "Dia tahu gak ya kalau semandiri-mandirinya aku juga butuh diperhatiin. Harusnya disuapi gitu."

"Ck, kok malah bengong? Ambil!" omel Gus Afkar.

Dengan perasaan jengkel, Fiza menerima roti dari tangan Gus Afkar. Gus Afkar mempuk-puk kepalanya dengan senyuman menghiasi bibirnya. "Pintar. Kadang-kadang kamu ini bersikap tidak selayaknya usiamu."

Fiza mengunyah roti dengan terpaksa. Rasanya ia tidak berselera mengingat hubungannya dengan Gus Afkar diambang perpisahan.

Ustadzah cantik itu kembali teringat dengan kesepakatan yang mereka buat kemarin malam saat dirinya mengemis tak ingin hubungan mereka usai, kemudian gus Afkar memberikan syarat supaya bisa bertahan.

CINTA SEORANG GUS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang