Baru membuka matanya setelah satu jam lalu kesadaran merenggutnya, Gus Afkar langsung dihadiahi bogeman mentah oleh Mahfudz. Pria tua itu membabi buta dirinya tanpa ampun. Mulai dari pipi sampai perut.
Nyai Nadya yang menemani Gus Afkar dikala yang lain sedang pulang ke ndalem, berteriak histeris. Segera saja beliau berlari memanggil satpam rumah sakit.
Tak berselang lama kemudian, dua satpam datang, langsung menjauhkan tubuh Mahfudz yang mengamuk. Gus Afkar sudah penuh lecet. Sejak awal dipukuli, ia tak berani melawan, selain tubuhnya yang demam tinggi sangat lemah, ia juga merasa pantas mendapatkan itu semua.
"Kurang ajar kau! Kalau dari awal kau memang tidak serius dengan putri saya, kenapa kau melamar dia? Kenapa kau beri dia harapan? Sekarang, saat pernikahan kalian sudah di depan mata, hanya menghitung jam dan menit saja, kau batalkan, brengsek! Laki-laki macam apa kau ini? Gelarmu Gus tapi suka mempermainkan perempuan. Memalukan sekali!" cerca Mahfudz sambil menuding wajah Gus Afkar. Amarahnya sudah membuncah semenjak ia mendengar pengakuan dari bibir putrinya yang terisak-isak, meringkuk dikamar.
Bola mata Nyai Nadya melebar. Sungguh, ia tidak tahu jika putranya telah membatalkan pernikahan secara sepihak, tanpa merundingkan dulu dengan dirinya. Kepalanya menggeleng dengan air mata menggenang, sangat kecewa.
"Demi Allah, Gus. Hati saya sangat sakit melihat Putri saya dilukai seperti ini. Dia sangat mencintaimu tapi apa balasanmu? Kau mencampakkan dia dihari yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama agar bisa hidup bersamamu."
"Dan kau sebagai orangtuanya ...." Mafudz beralih menatap Nyai Nadya. "Didik dia dengan benar! Kalau dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya jangan memulai hubungan dengan orang lain. Putri saya harus menjadi korban keegoisan keluarga kalian!"
Mahfudz benar-benar sudah berada diujung batas kesabaran. Perkataannya menggambarkan emosinya. Tak ada seorang ayah yang bisa diam saja melihat putrinya disakiti. Bahkan jika dilegalkan, dia bisa saja menghabisi seseorang yang telah melukai putrinya yang ia lindungi sedari kecil.
"Maaf, Om," lirih Gus Afkar, menangkup tangan.
Melalui gerak tubuh dan bibir, Mahfudz menangkapnya. Bibirnya berdecih.
"Telan saja kembali perkataan maafmu itu. Sampai kapan pun saya tidak akan pernah memaafkanmu bahkan jika putri saya sendiri sudah memberikannya. Saya bersumpah semoga kelak anak perempuanmu, merasakan apa yang putri saya rasakan, laki-laki brengsek!"
"Bawa dia keluar, Pak," tegas Nyai Nadya. Meskipun putranya bersalah, ia juga seorang ibu yang tak rela jika anaknya dikatai apalagi sampai disumpahi seperti itu. Hatinya sakit dan tidak terima. Buah hatinya tetaplah buah hatinya. Seburuk apa pun dia, dirinya yang melahirkannya, mempertaruhkan nyawa.
Setelah Mahfudz dikeluarkan secara paksa dari ruangan rawat Gus Afkar, dokter bersama suster membantu Gus Afkar berbaring diatas brankarnya lalu mengecek keadaannya. Nyai Nadya menangis, Gus Afkar juga ikut menangis harus membuat ibunya malu.
"Maafin Afkar, Umi. Maaf, maaf. Umi boleh hukum Afkar."
Nyai Nadya tak menggubris perkataan putranya, sudah terlanjur kecewa. Beliau meninggalkan ruangan begitu saja menimbulkan perasaan bersalah semakin bersarang dihati Gus Afkar. Inilah yang sedari awal ia sudah yakini. Semua pihak akan disakitinya. Gus Afkar ikhlas. Ia akan menanggung risiko yang telah diperbuatnya.
"Allah, maafkan hamba."
* * *
Membelalak kedua bola mata Ranti melihat sesuatu yang ditunjukkan oleh ust. Hafiz kepadanya. Dadanya ketar-ketir. Peluh dingin membasahi pelipis. Ranti meneguk saliva. Tangannya bahkan sudah gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEORANG GUS [END]
General FictionDemi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza, tapi Fiza begitu baik dan sabar menghadapinya. Berbagai cara Gus Afkar lakukan agar Fiza mau menyera...