"Fi--Fiza kecelakaan, sekarang dirumah sakit Medika."
Kabar itu sukses membuat wajah Gus Afkar memucat, jantungnya memompa cepat dan perlahan pikiran-pikiran tidak diinginkan terlintas begitu saja dalam otaknya. Bagaimana jika? Itu Gus Afkar hempas jauh-jauh.
Gus muda itu segera meraih kontak, berlari ke arah garasi mengeluarkan BMWnya lalu membawa mobil itu melesat dengan kecepatan maksimal.
Tiga puluh menit, mobilnya terparkir di area rumah sakit. Pemuda itu merakit langkah tergesa-gesa. Di pintu utama, ia disambut Nyai Nadya yang terisak-isak.
"Di mana Fiza?"
"Masih ditangani dokter."
Gus Afkar mengusap wajah frustrasi. "Ini alasan kenapa Afkar tidak mengizinkan dia ke luar."
"Maafin Umi, Nak."
Gus Afkar tidak menyalahkan Nyai Nadya di sini, sebab istrinya itu memang keras kepala. Sudah berbusa mulutnya mengingatkan, tapi tidak diindahkan. Gus Afkar mengerti dia bosan di ndalem terus menerus, namun apa tidak bisa ia bersabar menunggu dirinya punya jadwal kosong agar bisa menjaganya lebih intens.
"Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi, Umi?"
"Saat Umi membayar belanjaan dikasir, Fiza sudah tidak ada dan ketika umi cari-cari dia, Umi dengar ada kecelakaan, saat melihatnya, Fiza sudah terkapar ditabrak lari."
Gus Afkar memejamkan matanya tidak sanggup membayangkannya. Langkahnya memburu ICU, ruang yang kata Umi tempat Fiza dirawat. Ruang itu bukan sebuah detak jam, tapi punya alarm menakutkan.
Tak seberapa lama dokter keluar dengan wajah serius. Gus Afkar menghadang, melemparkan tanya, "Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Kandungannya tidak apa-apa, kan?"
"Bayi istri anda tidak terselamatkan, kami harus segera mengambil tindakan operasi Caesar untuk mengeluarkan janin dikarenakan tidak memungkinkan kondisi istri anda untuk melahirkan secara normal, dan untuk itu kami memerlukan persetujuan keluarganya terlebih dahulu."
Dalam sekejap penuturan dokter berhasil memadamkan dunia Gus Afkar. Kakinya menyokong tubuh lemas. Air mata merangkak turun.
"Mari ikut saya untuk persetujuan."
"Apa tidak ada kesempatan lagi untuk calon anak saya, Dok?"
***
Tubuh mungil terbalut kain kafan, dia peluk erat-erat. Tetesan sebening kristal masih tidak mau berhenti mengalir. Namanya Saufa Ghania, sosok yang sudah berpulang sebelum melihat indahnya dunia. Delapan bulan ternyata ia hanya ditakdirkan hidup dalam dunia kandungan, membiarkan keluarga Al-Mumtaz terbuai menantikan meski berujung pahit. Inilah takdir yang tak dapat diterka.
"Kita mulai pemakamannya," ujar Gus Adnan menepuk pundak rapuh gus Afkar.
"Tapi Fiza--"
"Kalau Fiza bertemu dia, Fiza akan semakin tidak rela melepaskannya."
Gus Afkar mengangguk lemah. Pemakaman dilakukan tanpa Fiza yang dirumah sakit sedang tidak sadarkan diri selama berjam-jam melawan mautnya.
Sebelum dikubur tanah, Gus Afkar peluk sekali bayinya. Rasanya tidak rela melepaskan bayi yang di dambakannya selama ini, tapi kembali lagi semua milik Tuhan dan akan dikembalikan kepada-Nya.
"Sabar, Kar. Putrimu lebih bahagia tinggal di dunia barunya tanpa mengenal carut marut dunia."
Tetap saja, sebagai seorang Ayah, Gus Afkar juga ingin melihatnya ada di tengah-tengah mereka, bertumbuh dan dewasa ditangannya. Bagaimana Gus Afkar akan menyayanginya sebagai peran baru, bagaimana dirinya dipanggil Abi dan bagaimana mereka berbagi kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEORANG GUS [END]
Fiksi UmumDemi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza, tapi Fiza begitu baik dan sabar menghadapinya. Berbagai cara Gus Afkar lakukan agar Fiza mau menyera...