"Semoga cepat jadi Ya Allah," ucap Gus Afkar mengusap-usap perut Fiza yang rata, membayangkan ada buah cintanya di sana. Padahal baru semalam mereka membuatnya.
Keduanya tengah menikmati hari minggu berdua di dalam kamar setelah menyantap sarapan pagi. Aktivitas mereka pun lengang. Gus Afkar tidak punya jadwal mengajar, begitu pun Fiza. Butik hari minggu ditutup.
Tak berhenti dari situ, Gus muda itu kembali melanjutkan pembicaraan mengenai anak. "Nanti kalau kita punya anak, mau kamu kasih nama siapa?"
Jari telunjuk Fiza memegangi dagu, matanya menatap ke awang-awang, sedang memikirkan nama yang bagus. "Aku belum kepikiran sih, tapi nama Zahra kayaknya bagus."
"Bagus sih, tapi di keluarga besar kita sudah banyak yang namanya Zahra. Yang lain aja."
Merasa buntu, Fiza menodongkan pertanyaan pada Gus Afkar, "kalau Gus? Udah siapin nama gak? "
"Kalau laki-laki Alzam, kalau perempuan Izza, bagus. Alasanya karena dulu waktu umi sedang hamil, beliau sudah menyiapkan nama itu untuk anak-anaknya. Sayangnya dua-duanya keguguran. Tapi kalau kamu merasa kurang suka saya ikut kamu aja."
"Umi pernah hamil kembar?"
Gus Afkar menggeleng pelan, "Bukan kembar, tapi dua kali kehamilan beliau mengalami keguguran. Kalau nggak, saya sudah dua punya Kakak selain Mbak Nada yang statusnya sulung."
Fiza merasa tidak enak hati telah membuat Gus Afkar mengingat luka lama itu, terlihat dari wajah suaminya yang menyiratkan kesedihan. "Maaf, Gus. Aku gak bermaksud—"
"Gak papa, saya yang mulai pembahasan ini. Jadi bagaimana dengan namanya?"
Fiza merangkul lengan Gus Afkar. "Bagus. Aku setuju anak kita dikasih nama itu."
Sebuah dering ponsel dari arah nakas, mengalihkan atensi keduanya. Fiza segera mengecek ponsel yang ternyata mikiknya untuk mengatahui siapa yang susah menelepon. Terpampang nama seseorang yang sangat Fiza rindukan di sana.
"Mama Ranti, Gus," beritahu Fiza dengan tatapan seolah minta izin untuk mengangkat telepon.
Gus Afkar yang mengerti tatapan itu, tersenyum lembut. "Angkatlah, silakan mengobrol dengan beliau."
Fiza tersenyum girang. Tanpa menunggu lama-lama lagi, ia segera menggeser panel hijau dan sedetik kemudian terdengar suara yang menghangatkan hatinya dari seberang telepon.
* * *
Keesokan harinya, Gus Afkar dan Fiza pergi ke kantor Urusan Agama untuk mengurus surat nikah. Rencana mereka menikah lagi secara agama dan negara akan direalisasikan oleh Gus Afkar, karena masih sebagian orang yang tahu kalau Fiza istrinya.
Selesai dari KUA, mereka pergi ke sebuah restoran tempat di mana sebelumnya mereka sudah mengadakan janji temu dengan Ranti.
Pertemuan ini bukan semata-mata melerai rindu antar Ibu dan anak, tetapi juga Ranti akan mengajak Fiza untuk check up ke dokter untuk mengetahui perkembangan dalam dirinya.
"Gimana kabarnya, Nak?" tanya Ranti saat Fiza sudah tiba. Mereka berpelukan layaknya Ibu dan anak yang sudah lama tak berjumpa.
"Baik, Ma. Mama juga gimana kabarnya? Sehat?"
"Mama sehat, alhamdulillah. Apalagi setelah ketemu kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEORANG GUS [END]
General FictionDemi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza, tapi Fiza begitu baik dan sabar menghadapinya. Berbagai cara Gus Afkar lakukan agar Fiza mau menyera...