Waktu Pulang

50.5K 3.2K 39
                                    


"Belum dijemput?" Aku mendongak dari layar hp-ku dan lagi-lagi mendapati mata elang Pak Sadewa yang berdiri di depanku. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru lapangan. Kosong. Semua orang sudah pulang, rupanya.

"Iya, Pak." Aku tersenyum, berusaha bersikap sopan. Aku menjeda tontonan youtube-ku dan melihat pesan terakhir yang dikirim ayah. Beliau mengirim pesan 'di jalan' empat puluh menit yang lalu. Harusnya beliau sudah sampai sekarang.

"Menunggu siapa, Lan? Pacar?" kalau saja aku tidak terlambat mendongak, mungkin aku akan melewatkan senyuman kecil Pak Sadewa. Tunggu, apakah beliau baru saja memanggil namaku?

Mimpi apa aku semalam?

Pak Sadewa menyapaku, mengingat namaku dan tersenyum ke arahku?

Apa ini normal?

Aku yakin Pak Sadewa bisa mengingat nama murid, beliau sudah berkali-kali memanggil namaku. Tapi itu di kelas, di mana beliau bisa melihat dari daftar absensi. Tidak mungkin, kan, beliau benar-benar mengingat namaku?

"Menunggu ayah, Pak." Aku hampir lupa menjawab pertanyaan beliau.

"Masih lama?" Beliau mengeluarkan sebatang rokok dan korek dari sakunya. Aduh, sepertinya bakal lama beliau menahanku dalam pembicaraan ini. Aku tidak tahu mau mengobrolkan apa. Padahal dengan udara yang sepoi-sepoi ini di bawah pepohonan, aku malah berkeringat dingin. Mending menghadapi ujian matematika daripada berbicara satu lawan satu dengan Pak Sadewa. Di luar kelas pula!

"Mungkin sebentar lagi sampai," ujarku berbohong. Aku sudah menunggu hampir dua jam setelah sekolah selesai. Aku yakin aku masih akan menunggu lebih lama lagi.

Beliau masih berdiri, tidak ikut duduk bersamaku. Tapi Pak Sadewa menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya.

Aku tidak lagi memainkan ponselku. Aku memilih memperhatikan jalanan yang masih terlihat di luar gerbang sekolah, berharap ayahku bisa menyelamatkanku dari situasi ini. Kalau Pak Sadewa masih mengajakku ngobrol lagi, mungkin aku akan banjir keringat.

Beliau berdiri hingga lama sekali, tanpa bertanya lagi. Aku pun terlalu canggung untuk membuka percakapan. Lagipula apa yang bisa kutanya, 'Kenapa belum pulang, Pak?'. Tidak mungkin beliau berniat membicarakan hal pribadi dengan muridnya. Atau perlu kutanya, 'ngomong-ngomong soal manusia purba, adam dan hawa masuk ke dalam jenis mana, Pak?'

Belum sempat aku menyiapkan pertanyaan pembuka untuk memecah keheningan, beliau menghembuskan asap rokok yang cukup panjang dan berkata, "Kalau begitu saya pulang duluan."

Aku mengangguk singkat. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan." Beliau tidak menoleh lagi dan berjalan ke arah satu-satunya kendaraan yang terparkir di halaman sekolah. Aku mengamatinya masuk ke dalam mobil sampai akhirnya ia keluar dari gerbang menuju jalan raya. Rupanya mobil beliau berpapasan dengan ayahku yang masuk ke dalam lingkungan sekolah. Syukurlah aku tidak perlu menunggu lama.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang