Berhenti Sejenak

14.6K 1.2K 30
                                    

Tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolah berarti aku punya lebih banyak waktu di luar kelas dan bertemu dengan Pak Sadewa kapanpun aku mau. Seringnya kami tidak sengaja bertemu di koridor dan hanya bisa saling melempar senyum tipis. Atau pernah beliau sengaja menyenggol lenganku saat berpapasan ketika berjalan dan tidak menoleh ke belakang saat aku terkejut dan tanpa sadar menoleh mengikuti langkahnya.

Kadang kami sengaja meluangkan waktu untuk bertemu, di perpustakaan, di gudang laboratorium komputer, di kamar mandi rusak di belakang kelas dua belas bahasa, di samping kelasku, di balik kumpulan pohon ketapang di dekatkantin atas. Tidak untuk melakukan hal aneh-aneh, hanya sekadar bertemu beberapa detik cuma untuk mengobrol sebentar.

Hal lain yang berubah, aku sekarang pergi ke sekolah bersama beliau. Aku tahu aku memang sedikit—banyak merepotkan beliau, tapi orangnya sendiri yang memaksa. Tidak mungkin aku menolak kesempatan bersama lebih banyak dengannya. Lalu setiap pulang sekolah, biasanya kami membeli makan di luar untuk dibungkus dan memakannya di rumahku atau kontrakan beliau yang ternyata hanya berjarak sepuluh menit dari sekolah. Aku mulai sering membawa pakaian ganti hanya untuk berjaga-jaga kalau kami memilih pulang ke kontrakan Pak Sadewa.

Aku merasakan sekali perbedaan sikapnya sebelum dan sesudah percekcokan kecil (lebih tepatnya komplain aku) waktu itu. Kali ini Pak Sadewa terasa lebih terbuka, tidak lagi terlalu mengontrol sikapnya kalau bersamaku, mulai membicarakan topik-topik personal dan lebih vokal dalam meminta sesuatu dariku. Misalnya, saat dia bilang dia tidak begitu suka telur rebus, saat dia bilang aku harus memanfaatkan waktu dengan keluarga dan teman, aku harus lebih sering main keluar rumah dan bersenang-senang bukan hanya dengan dia, dan kalau aku boleh bertanya soal pelajaran sekolah kecuali mata pelajaran Sejarah. Dia bilang tidak adil kalau aku mendapat perlakuan atau nilai khusus hanya karena hubungan kami. Aku sih tidak masalah karena menurutku aku bisa menguasai pelajaran itu. Selain itu karena memang dari awal Pak Sadewa adalah guru yang kompeten, jadi hanya dari mendengar penjelasannya di kelas saja sudah cukup. Aku tidak butuh les tambahan lagi untuk Sejarah. Tapi bonusnya, aku punya tutor matematika yang good-looking.

Selain itu, hari pertama lombaku juga berjalan sesuai rencana. Karena masih level kota/kabupaten, lomba kami diadakan di sebuah gedung di dinas pendidikan kota kami. Dari pagi sampai siang, kami bertiga ditemani Miss Fani dan Mrs Nia. Rupanya setiap tim diwajibkan mendebatkan empat mosi. Jadi untuk hari pertama ini kami mendapatkan satu mosi impromptu dan satu lagi mosi nomor dua yang telah kami persiapkan. Untuk besok, masih ada satu mosi impromptu dan satu mosi yang prepared. Kalau urusan lomba debat, aku selalu pulang dengan Rian. Seperti saat ini.

Pak Sadewa meneleponku saat aku dan Rian sedang berjalan ke parkiran. Sambil berjalan, aku mengangkat telepon dan menempelkan hp-ku di daun telinga. Rian di sampingku langsung berhenti bicara.

"Lombanya bagaimana?" beliau tidak pernah mengawali dengan basa-basi.

"Lancar, ini baru selesai."

"Langsung pulang?"

Aku melirik ke arah Rian yang tidak bisa mendengar suara di seberang telepon. "Aku dan Rian mau ke rumah Mia."

"Untuk apa?"

"Mia ulangtahun hari ini."

"Siapa?" Rian di sebelahku berbisik, tidak sabar menunggu sampai panggilan berakhir. Aku mengucapkan 'ayah' tanpa bersuara. Dia langsung membulatkan mulutnya.

"Besok masih lomba kan?"

"Iya."

"Istirahat saja di rumah, belajar." Aku memanyunkan bibir, jadi teringat perintah yang sama yang dipesan beliau saat kami berlomba di Bali kemarin.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang