Yang Terlewatkan

15.9K 1.5K 19
                                    

Nyatanya, aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah di hari berikutnya. Hidungku masih meler dan setiap lima menit sekali aku harus membuang lendir yang menumpuk. Meskipun ketidakhadiranku dianggap tanpa izin, tidak ada hal penting yang kulewatkan di sekolah pada dua hari itu. Tidak ada ujian atau kegiatan ekskul yang berbeda dari biasanya.

Aku baru masuk sekolah kembali di Hari Jumat. Selain karena pulang lebih cepat, aku juga tidak ingin terlalu lama absen sekolah. Meskipun begitu, seharian penuh aku memasang mode berjaga-jaga. Aku secara sengaja berusaha menghindar dari pertemuan tidak terduga dengan Pak Sadewa. Aku sengaja mengambil rute melalui belakang-belakang kelas untuk sampai ke IPA1 karena aku tidak begitu hapal jadwal mengajar atau bahkan jadwal piket beliau.

Teman-teman di sekolah menanyakan kabar saat aku baru datang. Tapi selebihnya, tidak ada yang berubah dari kebiasaan sehari-hariku. Aku baru menceritakan kejadian hari Selasa dengan Mia. Itupun karena aku harus memberi alasan kenapa aku berjalan ke rumahnya ditengah hujan badai dengan mata yang bengkak. Dan aku yakin, anak itu bukan orang yang akan menceritakan rahasiaku kepada siapapun.

Pelakunya sendiri hanya meninggalkan satu panggilan tidak terjawab di hari Selasa. Tidak ada pesan atau permintaan maaf sama sekali dari beliau. Aku tahu beliau bukan orang yang suka berkomunikasi melalui tulisan. Tapi tetap saja, kan...

Aku masih menghindari keluar kelas saat jam istirahat. Untungnya Rian dan Mia berbaik hati membelikanku makanan di kantin dan membawanya kembali ke kelas. Mia tahu aku sedang menghindari beliau. Sementara Rian hanya berpikir aku masih sakit untuk berjalan jauh. 

Sejauh ini aku juga tidak menebak reaksi beliau mengenai insiden aku kabur. Apakah marah? Atau tidak peduli sama sekali? Aku yakin aku tidak berhalusinasi melihat mobilnya di kompleks perumahanku beberapa hari lalu. Tapi sekarang aku tidak begitu yakin mengingat kondisiku yang berantakan di hari itu. Toh aku juga tidak bisa melihat plat nomor mobil itu dari jauh. Mungkin bukan mobil yang sama yang sering kutebengi pulang.

Hal lain yang membuatku memilih masuk hari ini adalah karena jam kosong mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pak Herman memang memiliki kebiasaan menelantarkan kami di jamnya. Biasanya, beliau akan memberi catatan atau tugas dan kemudian keluar kelas setelah hanya lima belas menit duduk di kursi guru. Hari ini, beruntungnya kami, tidak ada satupun hal yang dititipkan oleh beliau.

"Herbot nggak ada di kantor. Terus nggak balas telpon, juga. Jadi nggak ada tugas hari ini!" Hanif, ketua kelas kami, mengumumkan. Herbot adalah panggilan yang kami buat untuk Pak Herman. Herbot, Herman botak. 

Beberapa orang langsung bersorak layaknya cacing kepanasan. Serina di sebelahku malah menggerutu, "Itu guru kok bisa ya makan gaji buta tiap bulan." Aku tersenyum. Teman sebangkuku ini memang sangat memprioritaskan nilai akademik di atas segalanya.

"Guys, WA ya kalau ada tugas. Aku ke sebelah dulu!" pesan Lisa sambil berlari keluar kelas.

"Woy, nggak boleh keluar kelas! Di dalam aja!" sayangnya teriakan Hanif terlambat sepersekian detik karena Lisa sudah menghilang dari pintu kelas yang terbuka. Cowok itu menggeleng-geleng kepala, tidak berniat mengejar Lisa. "Pokoknya main di dalam aja. Biar nggak keliaran di luar. Terserah mau jungkir balik kek, salto kek, kayang kek. Awas kalau ada yang keluar lagi!" perintahnya lagi.

Aku berbalik ke belakang, tidak ingin menyentuh buku pelajaran. Ku ambil salah satu earphone yang mengait di telinga Rian dan menempelkannya di telingaku. Lagu milik The Overtunes yang aku tidak tahu judulnya apa, menyapa gendang telingaku. 

"Ih, Lan! Kabelnya ketarik. Pake hp-mu sendiri sana!" celoteh Rian, mengambil kembali earphone yang kujarah. Aku memonyongkan bibir, kesal. Tepat saat itu kedua hp kami berbunyi. Rupanya Miss Fani mengirim sesuatu di grup debat kami.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang