Melarikan Diri

21.6K 1.6K 190
                                    

Di minggu kedua pertemuan mata kuliah Antropologi, aku memilih untuk langsung konfrontasi dan berkomunikasi layaknya orang dewasa. Kalau memang tidak ada harapan untukku, akan kucoba untuk menerimanya dengan lapang dada. Setelah kupikir-pikir aku tidak berniat menyia-nyiakan beasiswaku, tenaga dan waktu untuk mengulang kuliah tahun depan. Hanya karena seorang cowok.

Sepanjang kelas, aku mengamati sosok yang dulu pernah begitu dekat denganku itu. Benar-benar tidak banyak yang berbeda dari Sadewa yang kukenal. Gaya berpakaiannya masih formal. Rambutnya pendek rapi. Gesturnya saat berbicara, berdiri, duduk, membaca.

 Gesturnya saat berbicara, berdiri, duduk, membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sadewa mengeluarkan hp-nya di tengah-tengah penjelasan kelas dan tersenyum sendiri. Yang itu kebiasaan baru. Kalau dulu, tidak pernah hp-nya ia hidupkan saat kelas. Bahkan saat pacaran juga tidak pernah sibuk sendiri dengan hp-nya. Mungkin dia memang sudah berubah.

Sekelas langsung mencie-ciekan si dosen. "Cie, dari calon istri, ya Pak?" seseorang menyahut entah dari kursi baris berapa.

"Katanya nggak boleh nyalain hp waktu kelas, Pak? Kok bapak sendiri yang melanggar?" sahutan dari orang yang berbeda membuat beberapa murid ikut bersorak memprotes.

"Undang-undang perkuliahan." Pak Sadewa mengangkat tangannya, isyarat untuk menyuruh anak-anak berhenti bersuara. "Pasal pertama, dosen selalu benar. Pasal kedua, jika dosen salah, kembali ke pasal satu."

Tapi dia tertawa saat protes anak-anak makin kencang terdengar, mengartikan bahwa perkataannya tidak benar-benar serius.

Calonnya pasti cantik sekali. Aku tidak tahu tipe cewek yang ia sukai. Yang masih kuingat, Audrie tinggi. Aku pendek. Muka Audrie cantik, dewasa, elegan. Mukaku saat itu, masih seperti anak-anak. Lucu, imut.

Mungkin satu-satunya persamaan di antara kami berdua adalah mempunyai rambut panjang, berwarna hitam legam. Sekarang rambutku pendek sebahu, kuwarnai menjadi auburn brown.

Aku sudah berubah. Tidak seperti dulu. Aku yakin dia juga berubah. Hatinya.

Begitu kelas berakhir, aku cepat-cepat menghampiri meja pengajar sebelum dia sempat pergi. "Permisi, Pak," salamku sopan.

Saat ia mendongak, rahangnya menegang saat menyadari kehadiranku. Dari jarak dekat, aku bisa melihat banyak detail wajahnya yang sudah kulupa. Alis tebalnya, bibirnya, hidungnya, dagunya. "Apa ada yang mau kamu tanyakan?"

Aku menyelipkan sejumput rambutku ke belakang telinga. Aku memilih menatap kerah kemejanya dibanding membalas tatapannya. "Saya mau meminta tolong dibukakan blokiran kontak saya. Siapa tahu saya ada urusan penting tentang mata kuliah ini untuk kedepannya."

"Oke," ia mengambil hp-nya, dan karena aku berdiri aku bisa melihat histori percakapanku yang sudah ia hapus saat ia membatalkan blokirannya. "Ada lagi?"

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, mencoba mengumpulkan keberanianku. "Saya... tidak tahu bapak mengajar di sini."

"Saya juga tidak tahu kamu di sini."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang