Jawaban Rumor

21.6K 1.7K 5
                                    

Pak Sadewa menyelesaikan kelas tepat saat lonceng perpindahan jam berbunyi. Beliau baru saja mengadakan ujian yang tertunda minggu lalu ketika kami pergi ke Bali. Sejak pulang bersama dari beberapa hari lalu, aku selalu bingung menghadapi beliau di dalam kelas. 

Kami lebih sering bertukar pikiran di mobil dalam perjalanan pulang. Namun saat di dalam kelas, beliau tidak pernah memperlihatkan perlakuan yang berbeda terhadapku. Beberapa kali beliau melempar pertanyaan tiba-tiba untukku (dan beberapa murid lainnya) di tengah pelajaran, tapi Pak Sadewa tidak pernah tersenyum ketika aku berhasil menjawabnya. Beliau tidak selepas saat kami hanya berdua. Aku pun sebenarnya tidak mengharapkan apapun. Beliau hanya sering mengantarku pulang. Itu saja. Itu hal yang wajar kan?

Karena aku harus mengejar ketertinggalan tiga hari mata pelajaran, aku lebih sering menghabiskan waktu istirahat untuk mengerjakan tugas. Jadi, aku jarang bertemu beliau di koridor kelas dan tidak pernah lagi menemani Lisa nongkrong di seberang perpustakaan untuk mengobservasi manusia pengajar mata pelajaran Sejarah itu. Jadi mungkin saja sikapnya memang akan lebih hangat jika berada di luar kelas, di luar jam pelajaran.

Aku memperhatikan beliau membereskan perlengkapan beliau. Dalam hati, aku setengah berharap beliau mengangkat pandangannya dan bertemu dengan tatapanku. Tapi sampai beliau selesai memasukkan semua bukunya ke dalam tasnya, Pak Sadewa tidak memperhatikanku. 

Namun yang membuatku lebih terkejut, saat beliau hendak keluar dari ruangan kelas, Lisa menghampiri Pak Sadewa. Aku menoleh ke belakang ke arah Rian yang juga sedang memperhatikan Lisa. Ia menyadari tatapanku dan tersenyum lebar, "Gila ya, Lisa makin agresif aja."

Kuperhatikan lagi keduanya yang kini berjalanan beriringan, sambil saling berbalas kalimat. "Mereka ngobrolin apa?"

Rian menggelengkan kepala, "Nggak tahu.."

Aku menoleh ke arah Mia, teman sebangku Rian. "Yang pasti bukan soal pelajaran," ujar Mia.

Beberapa saat kemudian Lisa kembali ke dalam kelas dengan wajah sumringah seperti baru saja mendapat doorprize. Ia melompat-lompat girang kembali ke tempat duduknya di belakang Mia.

"Cerita dong, cerita," bujuk Rian ikut tersenyum lebar. "Udah kayak barusan dilamar Pak Dewa aja, kamu."

Lisa menahan napas, seolah berpikir keras-keras apakah sebaiknya ia menceritakan sumber kebahagiannya atau tidak.

"Apa soal ujian, ya? Emang tadi ada soal bonus?" tebak Mia.

Tiba-tiba teman sebangku-ku, Serina, mengangkat kepalanya dari buku yang tengah ia baca, menyahut percakapan kami. "Mana ada soal bonus. Pak Sadewa yang sejeli itu nggak mungkin membuat kesalahan."

Lisa mengibas-ibaskan tangannya, "Udah, udah, aku mau cerita. Rin, hus. Jangan dengerin aku, ini rahasia."

Serina menggeleng-geleng kepala dan kembali menekuni bukunya. Tidak mungkin Serina tidak bisa mendengar suara Lisa kalau aku saja bisa mendengar. Lagipula, suara Lisa itu, apalagi kalau sedang bergosip, sekelas pun bisa dengar.

Mia dan Rian langsung membalikkan kursi mereka menghadap belakang. Aku pun, harus mengakui, sangat ingin tahu dengan apa yang ingin diucapkan Lisa.

"Jadi ... " Lisa mengipas-ngipas wajahnya yang memerah, "aku ... " ia memberi jeda lagi, " sama Pak Sadewa ..."

"Cepet ih, lama amat!" Mia menggapai buku Sejarahnya dan menggulungnya, siap untuk menimpuk kepala Lisa.

Belum sempat ia memuaskan rasa penasaran kami, tiba-tiba Lisa melambai ke arah pintu kelas dan melompat lari keluar lagi. Rupanya Rara dan teman-teman paskibra mereka sedang memanggil Lisa dari luar.

Aku tidak sengaja bertatapan dengan Rara, yang langsung membuang muka.

"Wah banyak drama, nih," bisik Rian lirih. "Pak Sadewa dengan Lisa. Wulan dengan Ir. Wulan dengan Rara!" ia tertawa, mengonfirmasi bahwa ia menyaksikan sikap jutek Rara padaku.

Aku menggaruk-garuk kepalaku, "Padahal aku nggak ada apa-apa sama Ir loh."

"Nggak ada apa-apa tapi dia ke rumahmu tadi malam?" serang Mia, yang memang kuceritakan tentang kedatangan Ir kerumahku yang mendadak.

"Ya ... kan buat belajar."

"Berdoa aja semoga Lisa nggak cerita ke Rara. Habis ntar kamu dimakan singa betina buas," sambung Rian.

"Lagian mereka udah putus kan, salahku apa coba ... "

Aku memperhatikan Rara dan Lisa sekali lagi. Begitu mereka selesai membicarakan sesuatu, Rara dan antek-anteknya membalikkan badan dan pergi.

Lisa tidak kembali ke tempat duduknya, malah berjongkok di sampingku. "Lan, kok Rara tahu soal kamu dan Ir semalam?"

Pantas, aku sampai disinisin begitu.

"Bukan kamu yang cerita?"

Lisa mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf V. "Sumpah, aku nggak cerita."

Aku menatapnya dalam-dalam. Omongan Lisa itu kadang tidak bisa dipercaya. Hubungan dia dengan Rara lebih dekat dari hubungan dia denganku. Apalagi gerombolan mereka, kan, hobinya memang membicarakan orang lain. "Tolong bilangin Rara, aku nggak ada rasa apa-apa sama Ir," ujarku, akhirnya.

Lisa mengangguk-angguk ragu. Mungkin di kepala dia, dia pikir tidak mungkin ada orang waras yang mau menolak Ir. Tapi nyatanya, aku memang berkata jujur.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang