Pertengkaran Pertama

17.2K 1.3K 23
                                    

Pak Sadewa masuk ke dalam kelas pada jam istirahat. Padahal kelas Sejarah baru mulai setelah istirahat selesai. Terlebih, kelas kami sedang sibuk mengerjakan tugas matematika dari Bu Martha yang belum selesai sejak mata pelajaran itu di jam kedua.

"Pak, belum jamnya, Pak!" teriak si ketua kelas dari barisan belakang. Hanif membawa buku tugasnya dan berjalan ke meja guru. "Masih istirahat kan, Pak?"

"Tidak apa-apa, lanjutkan saja. Saya cuma mau menaruh tas." 

Hanif langsung memberi hormat dan berseru, "Siap! Terima kasih Pak!" Ia kembali ke tempat duduknya di samping Lisa. Untung saja aku sudah menyelesaikan PR Sejarahku, jadi aku masih bisa berkonsentrasi pada tugas matematika yang harus kita kumpul hari Sabtu itu juga.

Pak Sadewa menaruh tas di meja guru dan melangkah mendekati mejaku yang memang paling depan. "Tugas apa?"

"Matematika, Bu Martha belum menjelaskan tapi sudah diberi tugas," jawabku berusaha bersikap normal.

"Coba, lihat." Aku menatapnya tidak yakin. Masih ada lima belas menit tersisa dan aku tidak ingin membuang waktu. Tapi karena aku juga tidak bisa menolak, akhirnya aku membalikkan bukuku dan menunjukkan lima soal yang sejak tadi membuat kami pusing. Aku sudah mengerjakan soal pertama dan kedua. Tapi sisanya benar-benar membingungkan.

"Determinans matrik," gumamnya pelan. 

"Yang pertama, gampang. Tinggal pengurangan dari kali silangnya, kan, Pak," tanyaku, mengonfirmasi. 

Beliau mengangguk, "Benar." Mendengar kami, Serina ikut mendekat. Aku melirik buku tugasnya yang ternyata juga belum selesai. Bedanya, dia sudah menemukan jawaban nomor lima.

"Kalau yang nomor tiga, Pak?" tanya Serina. "Itu disilang-silang juga?"

"Iya, aturan Sarrus. Miring bawah kanan dulu, pakai tanda positif. Miring bawah kiri, negatif."

"Oooh," Serina mengangguk-angguk paham.

"Tapi yang diminta invers, jadi dibalik. Satu per... determinernya." 

"Oh, jadi bukan nomornya yang dibalik," seru Serina. Sumpah. Aku tidak bisa mengikuti jalan pikiran mereka.

"Kalau nomor empat tinggal pakai matriks identitas."

"Oh iya, paham, paham. Mengerti, Pak." 

Pak Sadewa menatap ke arahku, "Wulan?"

Baru aku mau bertanya untuk nomor kelima yang belum dijelaskan, tiba-tiba Pak Sadewa ditarik oleh Lisa menuju kursi belakang. "Pak, saya belum paham. Ajarin dong, Pak!" Karena seruan gadis itu, beberapa orang lain mulai mendekat ke deretan kami. Seketika, meja Lisa-Hanif dan kursi Mia-Rian dipenuhi oleh anak-anak yang berdesakan.

Aku menganga lebar, kesal karena kesempatanku bertanya telah hilang. Dan aku masih belum menangkap perkataan Pak Sadewa untuk nomor tiga, dan empat. Belum lagi melihat antusias Lisa yang makin membuatku sebal. Gadis itu memeluk lengan Pak Sadewa, berdiri berdempetan karena memang mulai banyak orang yang juga ingin mendengar penjelasan beliau.

Aku menghela napas dengan kasar, Tidak seharusnya aku seposesif ini. Pak Sadewa kan juga guru. Semua murid berhak diajari oleh beliau. Masa aku harus melarang untuk dekat-dekat dengan Lisa.

Karena makin banyak anak yang berdatangan bahkan ke kursi kami di baris paling depan. Serina menarikku pergi agar mereka mendapat kesempatan untuk ikut mendengar Pak Sadewa. Kami duduk di meja yang ditinggalkan di dekat pintu kelas, "Udah, sini aku yang ajari!" 

Aku merasa ingin menangis. Karena ketidakmampuanku mengerjakan soal matematika, dan merasa sangat berterima kasih karena Serina tidak sepelit biasanya. "Hiks, aku benci matematika."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang