Kursi Penumpang

41.5K 2.8K 80
                                    

Aku mengangkat panggilan masuk yang berdering melalui whatsapp dari Pak Sadewa. Seharusnya beliau sudah sampai di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku selalu berasumsi bahwa Pak Sadewa adalah orang yang sangat tepat waktu.

"Halo. Selamat pagi, Pak."

"Wulan, saya sudah di jalan Nuri. Rumahmu yang mana ya?" Aku bergegas keluar rumah, menunggu di jalan kalau-kalau beliau dapat melihat dari ujung jalan di gang rumahku.

"Rumah saya berwarna biru tosca pak. Sebentar, saya keluar dulu." Mobil Pak Sadewa terlihat baru saja berbelok masuk. Aku ingat dengan mobil jeep berwarna coklat kotornya yang sering terparkir sendiri saat jam pulang sekolah.

"Oh, saya sudah liat kamu. Oke, terima kasih." Beliau langsung menutup teleponnya.

Aku menahan napas ketika mobilnya mendekat dan berhenti di seberang jalan. Kaca jendelanya yang gelap tidak memperbolehkanku untuk melihat pengendaranya. 

Pak Sadewa bersama Miss Fani akan menjadi pendamping kami selama di Bali. Dan karena tidak ada yang bisa mengantarku ke bandara, beliau menawarkan diri untuk menjemputku. Masalahnya, kami seharusnya sudah siap di bandara sejak tadi.

Ketika beliau turun, aku tidak bisa menahan diri untuk mengamati penampilannya dari ujung atas hingga ujung sepatunya. Aneh sekali melihat gurumu yang biasanya memakai pakaian formal di sekolah kini hanya berbalut kemeja hitam dengan dilapisi jaket hitam, celana panjang serta topi klasik anak muda zaman sekarang. Hanya dengan fashion sederhana begitu, beliau sudah terlihat seperti model kelas atas.

"Ada orang rumah?" tanya beliau sembari menyebrang mendekat ke arahku.

Aku menggeleng. "Ayah bunda lagi kerja. Tidak ada orang di rumah, Pak. Mau masuk dulu?" Aku membuka pintu ruang tamu. Aku hanya membawa satu koper dan satu tas selempang yang sudah kusiapkan di sofa ruang tamu.

Beliau mengerutkan keningnya, "Saudaramu?"

"Anak tunggal," kataku, tersenyum ke arahnya. Lihat kan, gara-gara beliau berpakaian seperti anak muda aku jadi lupa beliau adalah guruku. "Aku cuma bawa satu koper saja, Pak." Aku sengaja memanggil bapak untuk mengingatkan diriku sendiri agar tidak bersikap kurangajar dengan orang yang lebih tua.

Dengan cekatan, beliau mengambil koperku dan memasukkannya ke dalam kursi penumpang di baris belakang. "Langsung saja, yuk. Sudah ditunggu yang lain."

"Baik, Pak." Aku pun mengunci pintu rumah dan menutup pintu gerbang. Sebelum memasuki mobil Pak Sadewa, aku berhenti sejenak. Bingung, mau mengambil kursi di belakang atau di samping supir. Yang mana yang lebih sopan?

"Di sini," beliau membuka pintu depan di samping kiri dari arah dalam, memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya.

Seperti yang sudah kuduga, keheningan mulai mewarnai perjalanan kami untuk beberapa menit. Aku yakin Pak Sadewa pun bukan orang yang suka berbasa-basi, terutama dengan muridnya. Jadi aku memilih menunggunya berbicara duluan.

Untungnya, ketika kami sampai di lampu merah beliau memulai percakapan. "Kamu sudah beritahu orangtuamu, kan, pergi selama tiga hari?"

Aku mengangguk, senang akhirnya diajak bicara. Aku yakin semua perempuan di sekolah akan ingin sekali berada di posisiku saat ini, berdua dalam mobil bersama Pak Sadewa. Apa yang akan mereka lakukan ya? Apa yang akan Lisa lakukan kalau diberi kesempatan ini? Mungkin Lisa akan meminta berselfie bersama, sekaligus meminta followback beliau di instagram. Sayangnya aku sendiri tidak suka berfoto.

Karena suasananya diam lagi, aku memilih untuk gantian memulai percakapan. Tapi ketika aku hendak berbicara, di saat yang sama Pak Sadewa juga membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Beliau melirik ke arahku sekilas, "Mau bilang apa?"

Aku menggaruk belakang telingaku, sebenarnya akupun tidak tahu mau berkata apa. "Bapak saja, duluan."

Dia melirik sekali lagi sebelum kemudian memfokuskan pandangan ke arah jalan di depan. "Kamu dekat dengan Rian dan.. Dirgantara?"

"Rian sahabatku sejak SMP, tapi Ir... hanya sekedar kenal tapi tidak pernah ngobrol sendiri."

"Saya pikir pacarmu," beliau bergumam kecil.

Deduksi darimana pula? Aku bahkan tidak pernah berduaan dengan Ir. Aku tertawa sopan, "Saya jomblo pak."

"Padahal cantik."

Apa aku tidak salah dengar? Pak Sadewa sedang bergurau? Momen yang sangat langka sekali.

"Nggak ada yang berani maju, Pak," aku memutuskan untuk menimpali dengan gurauan juga.

"Kalau saya berani?"

Aku menoleh ke arahnya, menunggu beliau untuk juga menatapku. Apa beliau masih bercanda? Pantas saja antisosial, candaannya tidak jelas.

"Gimana maksudnya, Pak?"

Beliau hanya tertawa, renyah sekali. Padahal aku tidak ikut bercanda lagi. "Tidak apa-apa," katanya sambil balik membalas tatapanku. Senyumnya yang manis bisa-bisa membuatku jatuh. Tepat saat itu, mobil memasuki area parkir bandara.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang