Pak Sadewa Tunggu saya sepulang sekolah. 12.04
Aku membaca pesan itu berulang-ulang kali. Sudah hampir sejam sejak lonceng berbunyi. Tersisa beberapa murid yang masih menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Aku yakin aku masih akan menunggu lebih lama lagi. Pemikiranku yang positif berkata, Pak Sadewa mungkin masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Sementara yang negatif berkata, pasti beliau lupa dengan ajakannya sendiri.
Aku sendiri tidak punya ide sama sekali mengapa beliau menahanku untuk tidak pulang. Akupun tidak ingin bertanya lebih jauh karena aku yakin beliau tidak akan memberitahu apa-apa.
Aku memperhatikan satpam yang masih asik berbincang bersama guru BK di pos satpam. Rasanya aneh sekali kembali ke sekolah setelah merasakan surga dunia di Bali. Aku bertemu banyak teman baru dari lomba debat kemarin. Kami bertukar cerita mengenai sekolah masing-masing. Dan baru saat itu aku menyadari bahwa dunia di luar sangat luas.
Aku yang berasal dari kota kecil dengan fasilitas sekolah yang seadanya, merasa iri ketika mendengar cerita teman baruku mengenai debate club di sekolah mereka. Di sekolahku ini, tidak ada debate club, tidak ada ruang bahasa dengan perlengkapan memadai seperti layar besar dengan headphone untuk masing-masing meja di sebuah ruangan kedap suara, tidak ada lomba pidato berbahasa inggris tahunan bergengsi dengan hadiah uang tunai berjuta-juta. Dan yang jelas tidak ada fasilitas kolam renang sekolah, kamera di setiap sudut, dan kurikulum berbasis internasional.
Sebuah suara deham disebelahku menghentikan khayalanku. "Ayo pulang."
Aku menajamkan fokusku, baru menyadari bahwa guru BK dan satpam yang kuperhatikan daritadi sudah tidak ada. Pak Sadewa duduk di sebelahku dengan rambut dan kerah kemeja yang berantakan. "Oh, mau ngantar saya, Pak?"
"Jalan pulang kita searah. Lagipula kamu sudah menunggu saya lama sekali, ya?"
'Nggak, cuma sejam, Pak', batinku.
Untung aku sudah terlatih menunggu ayah sampai dua jam lebih. Kalau tidak, mungkin aku sudah habis kesabaran hanya dalam lima belas menit.
Pak Sadewa bangkit berdiri, begitu pula denganku. "Tunggu di sini, saya ambil mobil dulu."
Begitu Pak Sadewa pergi, tiba-tiba segerombolan tim basket turun dari tangga. Di antara mereka ada Ir yang langsung menyadari keberadaanku dan melambaikan tangannya. Aku hanya membalas dengan senyuman, tidak menduga dia akan berhenti di depanku dan menyuruh temannya meninggalkan dia.
"Oh, Ir... habis latihan?" ujarku basa-basi. Tanganku rasanya mulai berkeringat karena aku yakin Pak Sadewa pasti melihatku berbicara dengan Ir. Aku masih belum bisa melupakan tatapan membunuhnya saat di Bali.
"Kamu belum pulang?"
"Sebentar lagi dijemput kok," ujarku berbohong. "Lanjut aja, temanmu pasti nunggu."
Untungnya, Ir tidak memperpanjang percakapan dan langsung melambaikan tangan. "Oh, oke. Nanti kutelfon ya."
Aku mengangguk singkat, memperhatikan dia dan timnya keluar dari pintu gerbang. Begitu mereka hilang dari pandangan, mobil Pak Sadewa muncul dan berhenti di depanku.
Aku terkesiap saat Pak Sadewa langsung bertanya begitu aku masuk. "Dirgantara?"
"Iya, baru pulang juga dia."
Beliau mengangguk singkat dan mulai menekan gas mobil. "Kamu sadar tidak, dia naksir sama kamu?"
Aku mengerutkan keningku, menoleh ke arah Pak Sadewa yang masih memasang wajah serius. "Dia cuma ramah sama semua orang. Memang begitu orangnya, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
RomanceGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...