Sepi

15.6K 1.4K 4
                                    

Can you take me far away somewhere I can rest my head
Can you take me far away from here
I want to see the stars but I can't do it alone
I want to see the stars with you

Aku mematikan lagu dari hp-ku saat mendengar suara kendaraan masuk ke dalam garasi. Ayah baru pulang pukul enam malam. Pintu ruang tamu terbuka dan lampu rumah akhirnya dinyalakan. Tapi kamarku masih gelap. Aku sudah terbaring di kasur seharian. 

Setengah jam kemudian, terdengar lagi suara mesin kendaraan. Kali ini Bunda yang pulang. Aku menajamkan pendengaran. Seperti Ayah, Bunda juga langsung masuk ke dalam kamar. Bodoh sekali aku kalau mengharapkan mereka menyadari ketidakhadiranku, atau menyadari bahwa hari ini aku tidak pergi ke sekolah tanpa memberi kabar sakit.

Aku merapatkan selimutku, udara malam yang mulai dingin masuk dari jendela kamar yang belum kututup. Aku memang sedang sakit karena kehujanan kemarin. Orangtuaku tidak ada yang berinisiatif mengecek keadaanku. Aku belum menyalakan hp-ku, tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan teman atas ketidakhadiranku di sekolah. Aku tidak tahu apakah orang itu juga mencariku atau tidak. Semenjak kejadian kemarin...

Sayup-sayup aku mendengar nada tinggi Ayah dan Bunda yang saling berbalas dari arah dapur. Kadang aku beruntung tidak memiliki saudara, jadi tidak perlu ada orang lain yang tersiksa dengan pertengkaran mereka. Kadang aku berharap aku punya saudara, yang bisa kuajak bertukar pikiran. Seperti saat ini. 

Apakah aku harus melerai mereka? Apakah aku harus berpihak kepada salah satu? Apakah itu akan membuat semuanya lebih runyam? ApakahBunda mengharapkanku untuk bertindak sesuatu? Apakah Ayah membenciku kalau aku melakukan sesuatu?

Air mataku mengalir membentuk sungai di pipiku. Apakah lebih baik kalau mereka tidak punya aku? Mungkin mereka akan berpisah dengan damai? Apakah aku hanya menambah beban dalam pernikahan mereka? Mereka bahkan tidak mempedulikanku.

Aku bahkan belum bertemu dengan Ayah selama hampir seminggu ini. Beliau berangkat saat aku masih terlelap dan saat pulangpun beliau mendekam di kamar mengerjakan kerjaan kantornya. Setidaknya Bunda masih sering berada di ruang makan saat malam. Itulah kenapa aku biasanya bersikeras ingin dijemput Ayah meski harus menunggu hingga dua jam.

Aku ingin pergi. Atau aku ingin tidur selamanya di sini. Pokoknya aku ingin menghilang.

Dua jam kemudian, sebuah suara motor berhenti tepat di depan rumahku. Kami tidak pernah kedatangan tamu selain Om, adik Bunda yang sering berkunjung dengan keluarganya. Tapi tidak pernah datang selain di akhir pekan. Lalu siapa?

Kudengar seseorang membuka pintu, yang kuyakini pasti Bunda karena suara kendaraan di luar terdengar sampai di meja makan. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. "Wulan? Kok gelap kamarnya?"

"Hm," jawabku seadanya. Sekadar memberi informasi kalau aku sedang terjaga.

"Ada Ir di depan. Katanya mau mengobrol sebentar."

Aku menghela napas panjang. Kalau aku menolak, hanya akan memperpanjang masalah. Aku sudah lebih dari tiga hari mengabaikan pesan dan panggilan Ir. Lagipula aku yakin anak itu tidak mungkin menyerah dengan mudah. Kalau dia sudah sampai datang ke rumah, tidak mungkin dia akan pulang dengan tangan kosong.

Kakiku mulai terasa keram saat bergerak pertama kali setelah lebih dari 12 jam. Kepalaku terasa berat membuatku sulit untuk menyeimbangkan langkahku. Aku tersenyum tipis ke arah Ir yang terlihat khawatir.

"Kamu kenapa nggak masuk sekolah, Lan?"

"Kemarin kehujanan. Demam sedikit," aku bersedekap, mulai merasa kedinginan tanpa selimutku.

Ir mengangkat tangannya dan menyentuh keningku. "Panas banget. Sudah minum obat?"

Aku hanya mengangguk, berbohong.

"Besok masuk nggak?"

Aku menggosok keningku, seketika merasa pusing. "Mungkin masuk." Saat itulah aku menyadari sebuah mobil yang sangat familiar terparkir di ujung gang. Tidak mungkin Pak Sadewa tiba-tiba menjadi tetanggaku kan?

"Why were you avoiding me?" perhatianku kembali kepada Ir. "Sejak ketemu di kantin sama Rara, kamu ngehindarin aku ya?"

Aku menggigit bibirku, berpikir. Awalnya memang aku kesal melihat mereka berdua. Aku lebih kesal pada Ir yang seolah memberi harapan kepada Rara. Tapi kan, makan berdua dan pulang bersama itu wajar sebagai teman. Orang sebaik Ir tidak mungkin mau menghancurkan pertemanan hanya karena sudah menjadi mantan.

"Well, menurutku Rara masih suka dengan kamu,"

Ir menggelengkan kepala, terlihat frustasi. "Tapi aku nggak."

"Aku nggak mau jadi pengganggu. Kamu aja masih membiarkan dia mengontrol kamu," jawabku dengan jujur.

"Even if I like you?"

Aku mengangkat kedua alisku, bingung.

"Yes, I like you."

Aku memandang wajahnya lekat-lekat. Ternyata benar, asumsi Pak Sadewa. 

"Ir, aku baru kenal kamu bahkan belum sampai sebulan." Mataku kembali tertuju pada mobil mobil jeep berwarna coklat yang bersembunyi di kegelapan. Aku juga baru dekat dengan Pak Sadewa beberapa minggu ini. "Maaf..."

"Okay, but at least can you not runaway every time you see me?"

Aku tertawa. "I don't run away."

Ir menyunggingkan senyumnya. "Yes, you are. I saw you yesterday."

Aku memang berniat kabur, tapi cuma sekali itu saja kok. "Kirain kamu nggak liat."

"And please answer my call?"

Aku mengangguk, tersenyum. Mungkin aku terlalu kebablasan menghukum dia.

"And my text too?"

Ya ampun, bukan pacar saja sudah semanja ini. "Iya, iya. Maaf deh."

"Ya udah," jawabnya puas. Ia menatapku untuk beberapa menit sebelum kembali mengatakan, "Cepat sembuh ya. Atau mau kuantar jemput?"

Aku menggeleng cepat. Aku tidak ingin memberi terlalu banyak harapan.

"Kalau jawabannya berubah, kabari secepatnya ya. Nanti kutelfon boleh?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, aku pulang dulu ya." Aku memperhatikan Ir memakai helmnya dan menunggu sampai motornya hilang dari tikungan. 

Saat aku masuk ke rumah, Bunda sudah menunggu di dalam. "Kok kamu nggak bilang kalau sakit, nak?" beliau mengulurkan tangan, berniat mengecek suhu tubuhku yang langsung kutepis. Aku masih marah karena aku yakin Bunda baru sadar saat mendengar percakapanku dengan Ir.

"Besok sudah masuk sekolah, kok," jawabku, sudah merasa yakin kalau aku akan dimarahi karena tidak pergi ke sekolah hanya karena demam biasa. Tanpa mendengar jawaban Bunda, aku masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diriku di atas kasur.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang