Makan Hati

20.1K 1.6K 17
                                    

Hari ini hari Jumat. Sudah hampir seminggu aku 'nebeng' pulang dengan Pak Sadewa. Dan karena hari ini kami pulang lebih cepat dari biasanya, aku tidak perlu menunggu hingga berjam-jam sampai sekolah sepi. Tapi orang yang ditunggu belum muncul-muncul juga. Jadi aku memilih memantau keadaan sendiri ke kantor guru.

Pintunya masih terbuka, tapi tidak suara-suara berisik dari dalam. Jendela-jendelanya pun sudah ditutup. Aku berpura-pura berjalan melewati pintu depannya, sambil mencuri lirikan ke dalam ruangan. Pak Sadewa duduk sendiri dengan laptop yang terbuka di hadapannya. Beliau mengangkat kepala saat aku lewat. Untung saja tidak ada orang lain yang masih tinggal.

"Cari siapa, ya?" tegur beliau, membuatku melangkah mundur. Aku bisa melihat senyumnya yang tertahan di bibirnya.

"Maaf, Pak. Bapak Sadewa-nya sudah pulang belum ya?" candaku, mendekat ke arah pintu tapi tidak berani masuk ke dalam.

"Ada urusan apa, nak? Bapaknya masih sibuk," tangannya mengayun ke bawah, memberi isyarat agar aku mendekat.

Aku mematuhi instruksi dan berjalan ke meja Pak Sadewa yang berjarak tiga meja dari pintu. "Kalau sibuk, saya pulang duluan saja, Pak."

"Sebentar. Mau membantu saya mengoreksi ulangan, tidak?" tanya beliau saat aku berdiri di sampingnya.

Aku meneliti beberapa tumpukan kertas di atas mejanya. Ada empat tumpukan dari beberapa kelas. Aku tidak yakin berani mengutak-atik hasil pekerjaan temanku, apalagi memberi skor untuk mereka. "Saya saja cuma dapat 80, Pak. hehe."

Beliau berpikir sejenak, kemudian memutuskan menutup aplikasi spreadsheet di laptopnya dan mematikan mesin itu. "Dilanjut nanti saja," putus beliau. "Makan di kantin dulu ya, saya sudah kelaparan dari tadi."

"Terserah Bapak saja," aku menggaruk belakang leherku, berdoa semoga tidak ada orang yang tersisa di kantin sekolah. Tapi sepertinya Pak Sadewa tidak peduli, jadi harusnya aman-aman saja.

Koridor sekolah masih sekosong saat aku naik ke ruang guru. Namun aku hampir terperanjat saat mendapati sosok sepasang manusia yang sedang bersenda gurau di kantin. Aku menahan lengan Pak Sadewa, "Makan di luar saja gimana, Pak?"

Beliau mengikuti arah pandangku dan mengerti arti pertanyaanku. "Kenapa? Kan cuma Dirgantara?"

"... sama Rara," aku tidak paham kenapa mereka masih menghabiskan waktu berdua. Ku pikir hubungan mereka sudah renggang.

"Tidak apa-apa. Kita di meja lain," karena Pak Sadewa melanjutkan langkahnya, aku terburu-buru mengikutinya di belakang. Tidak mungkin mereka—Ir tidak menyapa kami.

"Lho, Pak Dewa?" tuhkan.

"Wulan?" kali ini Ir yang bersuara. Aku membalas tatapannya dan tersenyum. "Habis darimana?"

Sebelum aku sempat menjawab, Pak Sadewa mendahuluiku, "Anak ini tadi tersesat di kantor."

Aku hanya tersenyum basa-basi ke arah Ir dan mengikuti Pak Sadewa menyebutkan pesanan di meja kasir.

"Makan apa, kamu?"

Setelah melihat Rara dan Ir, nafsu makanku langsung menguap hilang. "Aku minum es teh saja..."

"Bu, bakso, satu. Es teh, satu. Es jeruk, satu."

"Gabung sama kita, Pak, sini," Ir memanggil dan membereskan mejanya.

Karena Pak Sadewa mengambil tempat duduk di samping Ir, aku harus duduk bersebelahan dengan Rara yang sejak tadi kuhindari tatapannya. Aku menunduk, memperhatikan dua mangkuk kosong dan dua gelas minuman yang sudah setengah habis. Rupanya mereka sudah selesai.

"Aku kayaknya nggak pernah lihat Pak Sadewa makan," ujar Rara, sambil tertawa sok manis. "Tiap jam istirahat selalu nongkrongnya di perpustakaan atau nggak di ruang guru."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang