Perjalanan Panjang

17.1K 1.2K 103
                                    

"Halo, Bunda?" aku menengok kananku pada Pak Sadewa. Objek perhatianku itu mengangguk dalam-dalam, seolah-olah seribu persen yakin dengan keputusannya. Padahal hal remeh temeh ini bisa ku-skip dengan mudah.

"Umm, ingat Wulan pernah cerita mau pergi ke Malang?"

Aku mendengar suara ketikan berhenti di seberang telepon. "Iya, ingat kok. Hari ini kan?"

"Iya." Pak Sadewa masih mengamatiku, menunggu. "Bunda ingat Pak Sadewa? Kemarin pernah jenguk Wulan di rumah."

"He'eh, iya. Yang tinggi tinggi, itu kan."

Aku menoleh lagi, bertanya dengan tatapan. Kesempatan terakhir. Beliau menjawab dengan uluran tangan, meminta mengambil alih panggilan telepon itu. Pokoknya, kalau gagal salah dia. Tanggung sendiri.

"Iya, orangnya mau bicara sebentar," sebelum mendengar respon Bunda, aku langsung mendekatkan hp-ku ke telinga Pak Sadewa yang langsung diambil beliau.

"Halo, selamat siang," suara Pak Sadewa menggantikanku. Aku menggigiti kuku jariku, gugup. Padahal aku sudah mendapat izin untuk pergi. Kan tidak perlunya orangnya yang mengajak sendiri yang minta izin.

""Iya, ini dengan Sadewa, guru Sejarah Wulan."

Ekspresi Pak Sadewa yang dari sananya memang susah ditebak, membuatku makin khawatir tidak bisa mendengar respon Bunda.

"Saya mau meminta izin mengajak Wulan ke Malang."

Kelima kukuku sampai habis menjadi lebih pendek dari sebelumnya. Pak Sadewa memasang ekspresi tidak suka, lalu mengambil tanganku dengan tangannya yang bebas agar aku berhenti menggunting kukuku dengan gigi.

"Iya, hari ini. Pulangnya hari Selasa."

Aku masih menunggu dalam diam, tidak bisa melakukan apa-apa karena tanganku disandera oleh beliau. Aku sempat ingin meminta beliau menekan tombol loudspeaker agar aku juga dapat mengikuti percakapan mereka.Tapi aku tidak ingin menginterupsi momen yang penuh kehati-hatian ini.

Pak Sadewa melepas tanganku, dan mengusap daun telinganya saat berkata, "Untuk seminar persiapan NSDC." Beliau memakai kebohongan yang sudah kukarang jauh-jauh hari. "Dengan ... " Pak Sadewa menatapku, menjawab ragu-ragu "Miss Fani dan peserta dari sekolah lain." Aku mengangguk-angguk antusias, puas karena beliau masih mengingat skenario buatanku.

Tiba-tiba Pak Sadewa tertawa pelan, membuatku mengangkat sebelah alis. "Tidak, Bu." Apalagi yang Bunda tanyakan. Semoga bukan hal yang aneh-aneh. "Dia tidak begitu."

"Baik. Terima kasih banyak, Bu," adalah kata-kata terakhir sebelum Pak Sadewa mematikan saluran panggilan itu dan mengembalikan hp-ku. "Mudah kan," gumamnya pelan.

"Tadi ditanya apa?" aku penasaran.

Ia menggeleng kepala, "Rahasia."

Aku memanyunkan bibir, "Kan kubilang, pasti diizinkan. Tidak perlu sampai telfon segala."

"Kalau ada apa-apa di jalan, kan kamu tanggung jawab saya." Ia melanjutkan, "Tidak izin sama Ayah juga?"

"Nggak. Pasti cuma bilang 'coba tanya Bunda aja', gitu."

Pak Sadewa tersenyum. "Sudah siap semua? Ada yang ketinggalan?"

Aku memastikan tas punggung yang tadi kulempar ke jok belakang, seharusnya semua barang-barang yang kubutuhkan sudah kumasukkan ke dalam tas. "Tidak ada, sih. Sudah semua."

Mobil mulai berjalan pelan, meninggalkan rumahku. Jam tanganku menunjukkan pukul 15.00, berarti kami akan sampai tujuan lima jam dari sekarang. Pukul 20.00-an. Pulang sekolah, aku dan Pak Sadewa langsung bergegas ke rumah untuk mengambil tas yang sudah kusiapkan berisi baju ganti dan perlengkapan lainnya. Aku juga sempat mengganti baju seragam.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang